TEMPO.CO, Jakarta - Baquer Namazi, 85 tahun, yang dipenjara di Teheran atas tuduhan menjadi mata-mata Amerika Serikat, telah dibebaskan. Pria keturunan Iran-Amerika itu, sekarang berada di Abu Dhabi dan akan segera menerima perawatan medis darurat, kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Rabu, 5 Oktober 2022.
Namazi, yang ditahan sejak 2016, melakukan perjalanan ke Abu Dhabi setelah meninggalkan Iran ke Muscat, kata Blinken dalam sebuah pernyataan.
"Dia telah bersatu kembali dengan keluarganya dan akan segera menerima perawatan medis yang sangat dibutuhkan," kata Blinken. "Kami menantikan pemulihan penuhnya dan menyambutnya pulang ke Amerika Serikat."
Pemerintah Oman mengumumkan di Twitter sebelumnya pada hari Rabu kedatangan Namazi di Muscat setelah Iran mengizinkannya pergi untuk perawatan medis.
Kepergian Namazi dari Iran pertama kali dilaporkan oleh media pemerintah Iran, yang menerbitkan video menunjukkan dia naik pesawat pribadi ditemani oleh seorang pria berpakaian nasional Oman, tetapi tidak disebutkan ke mana dia pergi.
Video itu menunjukkan dia berjuang menaiki tangga untuk naik ke pesawat, di mana lencana biru muda Angkatan Udara Kerajaan Oman bisa dilihat.
Seorang pengacara untuk keluarga Namazi, Jared Genser, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Namazi akan "menjalani endarterektomi karotis di Klinik Cleveland (di Abu Dhabi) untuk membersihkan penyumbatan parah pada arteri karotis internal kirinya (ICA), yang menempatkan dia berisiko sangat tinggi terkena stroke."
Namazi, mantan pejabat di badan anak-anak PBB UNICEF, memegang kewarganegaraan AS dan Iran dan merupakan salah satu dari empat warga Amerika keturunan Iran, termasuk putranya Siamak, yang ditahan di Iran dalam beberapa tahun terakhir atau dilarang meninggalkan negara itu.
Namazi dihukum pada 2016 karena "kolaborasi dengan pemerintah yang bermusuhan" dan dipenjara 10 tahun. Pihak berwenang Iran membebaskannya dengan alasan medis pada 2018 dan menutup kasusnya pada 2020, mengubah hukumannya menjadi waktu yang dijalani.
Namun, mereka secara efektif melarang dia pergi sampai Sabtu, yang menurut PBB Namazi diizinkan pergi untuk perawatan medis.
Anak Namazi Masih Ditahan
Putranya Siamak, 51 tahun, yang juga dihukum karena "kolaborasi dengan pemerintah yang bermusuhan" pada 2016, dibebaskan dari penjara Evin Teheran pada Sabtu dengan cuti satu minggu yang dapat diperpanjang setelah hampir tujuh tahun ditahan.
Pemerintah AS menilai tuduhan terhadap keduanya tidak berdasar.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh pengacara keluarga, Babak Namazi, putra Baquer Namazi, menyuarakan rasa terima kasih atas kepergian ayahnya dari Iran tetapi kesedihan atas ketidakmampuan saudaranya Siamak untuk meninggalkan negara itu.
"Sementara mengeluarkan ayah saya dari Iran sangat penting, hari ini juga pahit. Saudara saya Siamak serta orang Amerika Emad (Shargi) dan Morad Tahbaz tetap ditahan di Iran dan mimpi buruk kami tidak akan berakhir sampai seluruh keluarga kami (dan) orang Amerika lainnya dipersatukan kembali dengan keluarga mereka," katanya.
Warga AS lainnya yang ditahan di Iran termasuk aktivis lingkungan Tahbaz, 67 tahun, yang juga berkebangsaan Inggris, dan pengusaha Shargi, 58 tahun.
"Hari ini adalah hari yang baik bagi keluarga Namazi, tetapi pekerjaan masih jauh dari selesai. Kami sekarang membutuhkan Amerika Serikat dan Iran untuk bertindak secepatnya mencapai kesepakatan yang pada akhirnya akan membawa pulang semua sandera Amerika," kata Genser, pengacara keluarga tersebut, menambahkan bahwa Baquer Namazi akan segera ke rumah sakit setibanya di Abu Dhabi.
Tidak segera jelas mengapa Iran mengizinkan Baquer Namazi meninggalkan negara itu dan Siamak Namazi dibebaskan dari penjara tapi tidak bisa ke luar negeri.
Warga Amerika keturunan Iran, yang kewarganegaraan AS-nya tidak diakui oleh Teheran, sering menjadi bidak di antara kedua negara, sekarang berselisih mengenai apakah akan menghidupkan kembali pakta 2015 yang bermasalah di mana Iran membatasi program nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi.
Iran juga bergulat dengan pertunjukan oposisi terbesar terhadap otoritas ulamanya sejak 2019 dengan puluhan orang tewas dalam kerusuhan di seluruh negeri yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini, wanita berusia 22 tahun dalam tahanan polisi.