TEMPO.CO, Jakarta - Estonia mendapat serangan peretas Rusia tak lama setelah membongkar monumen peninggalan Soviet di wilayah dengan mayoritas etnis Rusia.
Kelompok peretas Rusia, Killnet, mengaku bertanggung jawab atas serangan itu, dengan menyatakan di akun Telegramnya pada hari Rabu, 17 Agustus 2022, bahwa mereka telah memblokir akses ke lebih dari 200 situs lembaga negara dan swasta Estonia, seperti sistem identifikasi warga online.
Namun, seorang pejabat pemerintah Estonia mengatakan bahwa dampak serangan itu terbatas.
"Kemarin, Estonia menjadi sasaran serangan siber paling luas yang pernah dihadapi sejak 2007", kata Luukas Ilves, wakil menteri transformasi digital di Kementerian Urusan Ekonomi dan Komunikasi Estonia, dalam akun Twitternya, Kamis, 18 Agustus 2022.
"Dengan beberapa pengecualian kecil, situs web tetap tersedia sepanjang hari. Serangan itu sebagian besar tidak diketahui di Estonia," katanya.
Killnet, yang mengklaim serangan serupa terhadap Lithuania pada bulan Juni, mengatakan tindakan itu dilakukan setelah tank Tu-34 Soviet dipindahkan dari tampilan publik di kota Narva ke sebuah museum pada hari Selasa.
Dalam serangan DDoS, peretas mencoba membanjiri jaringan dengan volume lalu lintas data yang luar biasa tinggi untuk melumpuhkannya ketika jaringan tidak dapat lagi mengatasi skala data yang diminta.
Estonia bergerak untuk meningkatkan keamanan dunia maya pada tahun 2007 setelah mengalami serangan ekstensif terhadap situs web publik dan swasta yang diduga dilakukan orang-orang Rusia karena marah pada pencopotan patung era Soviet.
Monumen Tentara Merah dipindahkan dari alun-alun Tallinn, diikuti oleh kerusuhan dua malam oleh etnis Rusia pada saat itu.
Pemerintah Estonia pada hari Selasa memerintahkan pembongkaran semua monumen peninggalan Uni Soviet di Narva yang mayoritas berbahasa Rusia, dengan alasan meningkatnya ketegangan di kota itu dan menuduh Rusia mencoba mengeksploitasi masa lalu untuk memecah-belah masyarakat Estonia.
Reuters