Menurut keterangan Migrant CARE, para korban WNI di Kamboja berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, antara lain dari Medan (Sumatra Utara), Jakarta, Depok (Jabar), Indragiri Hulu (Riau), Jember (Jatim). Dari agen yang berada di Kamboja, mereka dijanjikan bekerja sebagai operator, marketing dan customer service dengan dijanjikan gaji US$1000 – 1500, atau sekitar 15-22 juta.
Faktanya mereka hanya menerima US$500 atau sekitar Rp 7 juta. Apabila para PMI tersebut mengundurkan diri maka harus membayar denda sebesar US$ 2000 – 11000, atau Rp 30-163 juta
Korban dijual dengan harga yang beragam, salah satunya dijual seharga US$2000 atau Rp 30 juta. Mereka dijual dari perusahaan satu ke perusahaan lain karena beberapa sebab. Mereka juga dipekerjakan tanpa kontrak dan jam kerja yang panjang.
Melihat kompleksitas masalah ini, Anis Hidayah dari Migrant CARE mendesak pemerintah untuk melakukan langkah jangka panjang. Selain mengusut tuntas pelaku perekrut beserta jaringannya yang berada di wilayah Indonesia.
"Kemenaker RI, BP2MI, hingga Pemerintah Daerah mulai dari provinsi, kabupaten/kota hingga desa harus mengintensifkan edukasi dan sosialisasi migrasi aman dan bahaya trafficking dengan modus-modus mutakhir kepada masyarakat hingga di grassroot," kata Anis.
Menurut Anis, otoritas terkait juga diharuskan mengintensifkan pengawasan agensi perekrut pekerja migran Indonesia, calo baik di lapangan maupun di media sosial yang memanfaatkan situasi ekonomi masyarakat pasca-pandemi agar tidak ada lagi kasus seperti WNI disekap di Kamboja.
Baca juga:
DANIEL AHMAD