TEMPO.CO, Jakarta - Unjuk rasa terjadi di Uzbekistan pada Minggu, 3 Juli 2022. Aksi protes itu didorong oleh perubahan konstitusi yang akan mencabut status otonomi Karakalpakstan. Namun Presiden Shavkat Mirziyoyev membatalkan rencana itu.
Presiden Uzbekistan Shavkat Mirziyoyev mengatakan ada korban di antara warga sipil dan petugas penegak hukum. Sementara seorang politisi oposisi menyebut sedikitnya lima orang telah tewas.
Dalam sebuah pernyataan yang diposting online, Mirziyoyev mengatakan para perusuh telah merusak kota Nukus, ibu kota wilayah Karakalpakstan barat laut. Mereka dituding melemparkan batu, menyalakan api dan menyerang polisi. “Sayangnya ada korban di antara warga sipil dan aparat penegak hukum,” kata Mirziyoyev seperti dikutip Reuters.
Pernyataan itu tidak merinci jumlah dan sifat korban. Namun seorang pejabat pemerintah setempat mengatakan kepada situs berita Uzbekistan bahwa ribuan orang telah dirawat di rumah sakit.
Sultanbek Ziyayev, Kepala Kementerian Kesehatan Republik Karakalpakstan, mengatakan kepada situs berita Daryo.uz bahwa rumah sakit di Nukus penuh dengan pasien yang terluka karena bentrok dengan pasukan keamanan.
Foto-foto dari Nukus yang diterbitkan pada Minggu oleh situs berita lain, Kun.uz, menunjukkan barikade jalanan, truk yang terbakar. Militer berat juga termasuk pengangkut personel lapis baja.
Video yang dibagikan di media sosial menunjukkan setidaknya dua orang yang terluka parah digendong dengan tangan dan kaki mereka. Satu berdarah dari perut, sementara yang lain berteriak.
Gambar lain menunjukkan seorang pria muda berjongkok di dekat tubuh yang tampaknya tak bernyawa di jalan. Ada seorang pria sekarat dan kemudian berlari mencari perlindungan saat tembakan terdengar.
Seorang politisi oposisi di pengasingan, Pulat Ahunov, mengatakan kepada Reuters bahwa, berdasarkan kontak dengan sumber-sumber lokal dan bukti video, setidaknya lima orang telah tewas. Dia mengatakan ada laporan yang belum dikonfirmasi tentang puluhan orang tewas.
Ahunov mengatakan orang-orang tidak dapat bergerak dan mendapatkan lebih banyak informasi karena keadaan darurat yang diberlakukan oleh pihak berwenang.
Ketua Partai Oposisi Berlik itu mengatakan kepada Reuters dari Swedia, bahwa dia mengutuk penggunaan kekuatan mematikan. "Pihak berwenang, sejak awal, seharusnya memilih dialog dan negosiasi," katanya.
Dia khawatir situasi meningkat menjadi konflik etnis antara Uzbek dan Karakalpaks, sebuah kelompok minoritas dengan bahasa mereka sendiri. Adapun pihak berwenang telah mengadakan pertemuan publik pada Selasa lalu untuk membahas situasi tersebut.
Uzbekistan adalah bekas republik Soviet yang mengontrol dan menindak secara keras segala bentuk perbedaan pendapat. Unjuk rasa kemarin adalah pecahnya kerusuhan kedua di Asia Tengah tahun ini. Kazakhstan turun tangan melerai protes massa pada Januari. Rusia serta bekas republik Soviet lainnya juga mengirim pasukan untuk membantu pihak berwenang memulihkan ketertiban.
Steve Swerdlow, Associate Professor Hak Asasi Manusia di University of Southern California dan seorang ahli di kawasan itu, mengatakan, Uzbekistan harus terlibat setransparan mungkin dalam menyatakan korban dan penggunaan kekuatan. Dia juga menyarankan pada Uzbekistan agar dalam jangka panjang dapat melihat apa yang menjadi perhatian utama aksi protes ini.
Baca: Dikalahkan dalam Permainan, Pria Uzbekistan Pukul Istri dalam Pesta Pernikahan
REUTERS