TEMPO.CO, Jakarta -Komite pemberi hadiah Nobel Perdamaian, Komite Nobel Norwegia, meluncurkan kritik yang jarang dilakukan kepada salah satu pemenangnya, Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed.
Seperti dilansir Reuters, 14 Januari 2022, Komite mendesak pemenang Nobel Perdamaian 2019 itu untuk menghentikan perang dan krisis kemanusiaan yang terjadi di Tigray, wilayah utara Ethiopia.
"Sebagai perdana menteri dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Abiy Ahmed memiliki tanggung jawab khusus untuk mengakhiri konflik dan berkontribusi pada perdamaian," kata komite yang berbasis di Oslo dalam pernyataan.
Abiy memenangkan hadiah tersebut sebagian karena kerja kerasnya untuk berdamai dengan negara tetangga Eritrea dalam mengakhiri salah satu konflik terlama di Afrika. Komite mengatakan bahwa "harus ditekankan bahwa penghargaan Abiy Ahmed diberikan atas dasar usahanya dan harapan pada 2019.”
Namun pada November 2020, pemerintah Abiy mengizinkan pasukan Eritrea masuk ke Tigray saat kedua negara bersama-sama mengejar para pemimpin Tigray. Langkah ini memicu ketegangan politik yang meletus menjadi perang.
Puluhan ribu orang tewas, dan ratusan ribu lainnya sekarang menghadapi kelaparan karena pemerintah Ethiopia telah menyimpan hampir semua makanan dan bantuan medis dari Tigray sejak akhir Juni.
"Situasi kemanusiaan sangat serius, dan tidak dapat diterima bahwa bantuan kemanusiaan tidak muncul pada tingkat yang memadai," kata pernyataan Komite Nobel Norwegia.
Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, mantan pejabat Tigray, mencema kondisi terakhir di wilayahnya itu. "Tidak ada tempat di dunia seperti neraka di Tigray,", ujar Ghebreyesus mengatakan kepada wartawan pada Rabu lalu.
Ia mengatakan bahwa WHO telah mendekati kantor Abiy untuk meminta izin mengirim obat-obatan ke Tigray, tapi gagal. Belum ada komentar langsung dari kantor perdana menteri Ethiopia menyusul kecaman ini.
Terdapat sejumlah kontroversi terkait penerima Hadiah Nobel Perdamaian. Aung San Suu Kyi, pemenang pada 1991, menuai kritik dunia karena membiarkan pembantaian etnis Rohingya saat dirinya berkuasa.
Sedangkan Barack Obama, pemenang Nobel Perdamaian 2009, menuai kecaman karena memerintahkan serangan drone di sejumlah negara Timur Tengah dengan dalih perang melawan teror. Padahal korban terbanyak justru warga sipil.
Baca juga: 5 Pemenang Nobel Perdamaian Paling Kontroversi Sepanjang Masa
SUMBER: REUTERS
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.