TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah desa di China yaitu Huangzhugen di Kota Lianjiang di provinsi Guangdong selatan akan membayar penduduknya US$ 510 atau sekitar Rp 7,2 juta per bulan untuk mensubsidi bayi yang baru lahir setelah 1 September 2021. Media Global Times melaporkan keluarga akan menerima subsidi bulanan hingga bayi berusia 2,5 tahun. Jumlah total subsidi bisa mencapai US$ 15 ribu atau sekitar Rp 213 juta untuk setiap bayi.
Menurut data resmi, pendapatan rata-rata tahunan di Lianjiang adalah US$ 3.295 atau Rp 46,4 juta per orang pada 2019. Subsidi untuk bayi itu adalah sumbangan dari seorang pria kaya di Desa Huangzhugen.
Saat ini China sedang menghadapi krisis demografi. Bulan lallu pemerintah China mengesahkan kebijakan tiga anak. Namun mahalnya biaya hidup membuat pasangan muda di China ragu untuk menambah anggota keluarganya. Kebijakan pemerintah berdasarkan sensus 2020, pertumbuhan populasi di China melambat dalam beberapa dekade terakhir.
Sejumlah daerah di China selain Desa Huangzhugen juga menawarkan insentif serupa. Kabupaten Linze, di provinsi Gansu barat laut, menawarkan subsidi real estat US$ 6.200 untuk pasangan yang memiliki dua atau tiga anak, menurut Global Times. Pemerintah daerah juga berencana menawarkan subsidi tunai hingga US$ 1.500 per bayi per tahun untuk keluarga dengan dua atau tiga anak.
Panzhihua, sebuah kota di provinsi Sichuan, juga memberikan bantuan tunai kepada keluarga dengan dua atau tiga anak, seharga US$ 80 per bulan untuk setiap bayi.
Baca Juga:
Langkah-langkah serupa telah diterapkan di negara-negara Asia lainnya yang mengalami krisis demografis serupa. Kota Nagi di Jepang menjadi kisah sukses setelah membayar pasangandi sana untuk memiliki lebih banyak anak. Setiap anak akan mendapat insentif berbeda.
Dan di Singapura, yang termasuk salah satu negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia, pemerintah menawarkan pembayaran kepada calon orang tua yang bersedia punya anak selama pandemi virus corona.
Namun di China, upaya meningkatkan jumlah anak mendapat protes dari kaum wanita. Tunjangan tak menyelesaikan masalah seperti ketidaksetaraan gender yang mengakar, kurangnya cuti untuk ayah, meningkatnya biaya hidup, dan berkurangnya kesempatan kerja untuk para ibu.
Memiliki lebih banyak anak membuat perempuan sering kali mengorbankan karirnya. Mereka juga menghadapi diskriminasi di tempat kerja karena tanggung jawab terbagi antara mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga. Dengan semakin banyaknya wanita yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi dan memasuki dunia kerja, maka semakin sedikit yang siap untuk berkorban.
Baca: China Bangun Proyek Lithium di Sulawesi Senilai Hampir Rp 5 Triliun
CNN