TEMPO.CO, Jakarta - Tentara Eritrea dan milisi Tigray dituding memperkosa, menahan, dan membunuh pengungsi di wilayah utara Tigray, Ethiopia, kata pengawas hak asasi internasional, Kamis, 16 Januari 2021.
Laporan Human Rights Watch merinci serangan di sekitar dua kamp pengungsi di Tigray, tempat pemberontak memerangi pemerintah Ethiopia dan Eritrea dalam konflik yang mengguncang wilayah Tanduk Afrika sejak November lalu.
Puluhan ribu warga Eritrea mengungsi ke Tigray, sebuah provinsi pegunungan miskin berpenduduk sekitar 5 juta orang.
Milisi Tigray mencurigai mereka karena berkebangsaan sama dengan tentara Eritrea.
"Pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan yang mengerikan terhadap pengungsi Eritrea di Tigray jelas merupakan kejahatan perang," kata Laetitia Bader, direktur Human Rights Watch (HRW) wilayah Tanduk Afrika kepada Reuters.
Reuters juga mewawancarai 28 pengungsi dan sumber lainnya, termasuk mengambil gambar dari citra satelit.
Peta Ethiopia (ctfassets.net)
Menteri Informasi Eritrea tidak membalas panggilan untuk dimintai konfirmasi tentang tuduhan ini.
Pemerintah Eritrea sebelumnya membantah adanya kekerasan pada pengungsi, dan mengatakan pasukan mereka tidak menargetkan warga sipil.
Seorang juru bicara Front Pembebasan Rakyat Tigray mengatakan pasukan Tigray berseragam formal baru saja pindah ke daerah itu dan kemungkinan pelanggaran dilakukan oleh milisi lokal.
"Sebagian besar pasukan kami pindah ke daerah-daerah itu bulan lalu. Ada kehadiran tentara Eritrea yang besar di sana," kata Getachew Reda kepada Reuters.
"Jika ada kelompok main hakim sendiri yang bertindak di saat situasi panas, saya tidak bisa mengesampingkannya."
Penyelidik internasional dipersilakan untuk mengunjungi daerah itu, katanya.
Sebelum konflik Tigray, Ethiopia menampung sekitar 150.000 pengungsi Eritrea, yang melarikan diri dari kemiskinan dan pemerintahan otoriter.
Sebagian besar laporan berfokus pada dua kamp - Shimelba dan Hitsats - yang hancur selama pertempuran. HRW mengutip data badan pengungsi PBB UNHCR bahwa 7.643 dari 20.000 pengungsi yang kemudian tinggal di kamp Hitsats dan Shimelba masih belum ditemukan.
UNHCR mengatakan "terkejut" dengan laporan "penderitaan luar biasa" di kamp-kamp pengungsi, yang tidak dapat diakses dari November hingga Maret 2021.
"Kami sangat khawatir tentang situasi saat ini lebih dari 20.000 pengungsi Eritrea yang tinggal di kamp Mai Aini dan Adi Harush di Tigray selatan," kata UNHCR kepada Reuters. Ada kekurangan makanan dan air yang parah dan perawatan kesehatan tidak tersedia.
Konflik Tigray berawal dari Pemllu yang digelar di sana pada 4 November 2020. Tigray merupakan bagian dari federasi Ethiopia, yang menuduh Pemilu itu ilegal dan sebagai pembangkangan. Akibatnya, terjadilah perang saudara yang juga melibatkan Eritrea, sekutu Ethiopia.