TEMPO.CO, Jakarta - Gencatan senjata dengan Israel dirayakan bak Idul Fitri di Palestina. Teriakan takbir terdengar di berbagai kota, diikuti warga yang saling berpelukan karena mereka tak lagi berhadapan dengan maut. Sebelumnya, selama 11 hari, nyawa mereka terancam oleh ribuan serangan roket Israel yang diklaim "pertahanan diri".
Meski gencatan sudah tercapai berkat upaya mediasi dari Mesir, warga Palestina tetap waspada. Mereka tahu Israel bisa kapan saja memlintir kesepakatan damai yang ada. Maklum, hal itu sudah terjadi berkali-kali walaupun gencatan apapun patut disyukuri. Salah satu hal yang dikhawatirkan warga Palestina, serangan ke Gaza dialihkan ke wilayah lain. Gaza bukan satu-satunya titik panas di Palestina.
Kekhawatiran itu terbukti. Usai Salat Jumat, bentrokan antara warga Palestina dan aparat Israel kembali terjadi. Lagi-lagi di Masjid Al-Aqsa, Yerusalem Timur. Aparat Israel membubarkan warga yang merayakan gencatan senjata dengan menembakkan gas air mata, bom asap, serta peluru karet. Warga Yerusalem Timur mengaku tidak kaget bentrokan terjadi lagi.
"Jujur saya sudah tidak kaget lagi. Israel tidak pernah benar-benar berkomitmen untuk kesepakatan (gencatan senjata) seperti itu," ujar warga Yerusalem Timur, Haya, ketika diwawancarai Tempo via telepon, Jumat waktu setempat, 21 Mei 2021.
Anggota polisi Israel berjaga selama bentrokan dengan warga Palestina di kompleks Masjid Al Aqsa, di Kota Tua Yerusalem, 10 Mei 2021. Kerusuhan terjadi di saat Israel merayakan Hari Yerusalem yang memperingati perebutannya atas beberapa bagian kota dalam perang Arab-Israel tahun 1967. REUTERS/Ammar Awad
Baca juga: Polisi Israel dan Warga Palestina Bentrok Lagi di Masjid Al-Aqsa
Haya berkata, jika Israel memang benar-benar berniat untuk gencatan senjata, maka bentrokan di Al-Aqsa tak seharusnya terjadi lagi. Apalagi, kata ia, serangan dilakukan tanpa alasan yang jelas, sama seperti serangan-serangan sebelumnya. Oleh karenanya, ia merasa gencatan senjata tidak akan berlangsung lama.
Paling lama, menurut Haya, situasi akan mereda selama kurang lebih 2-3 bulan saja terutama untuk wilayah Gaza. Setelah periode tersebut, ia memprediksi serangan-serangan akan dimulai lagi, baik oleh aparat Israel maupun mereka yang menduduki wilayah Palestina secara ilegal. Hal itu, kata ia, berkaca pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, salah satunya pada Perang Gaza di tahun 2014.
"Kami memang sangat-sangat haus untuk merayakan sesuatu (seperti gencatan senjata) karena kami hidup menderita selama ini...Kami berjuang seorang diri dan negara-negara Arab lainnya jarang mengintervensi. Namun, kami sadar bahwa kami juga harus waspada karena Israel tidak pernah memegang komitmennya."
"Gencatan senjata ketika pendudukan berlangsung itu selalu bersifat temporer. Sewaktu-waktu kami bisa saja dibunuh, diserang, ditendang darti rumah kami, atau dipenjara. Tidak ada hidup normal," ujar Haya menegaskan.
Sikap skeptis yang sama ditunjukkan oleh Ziad, warga Palestina asal Tepi Barat (West Bank). Ia berkata, selama gencatan senjata tidak diikuti dengan sebuah perjanjian yang berkekuatan hukum, maka Israel bisa kapan saja kembali menyerang. Serangan berikutnya bisa jadi tidak di Gaza, tetapi di wilayah lainnya.
Sistem anti-rudal Iron Dome Israel mencegat roket yang diluncurkan dari Jalur Gaza menuju Israel terlihat dari Ashkelon, Israel 12 Mei 2021. REUTERS/Amir Cohen
"Kuberitahu, mereka tidak akan mendiamkan Sheikh Jarrah, mereka tidak akan mendiamkan Yerusalem Timur, mereka tidak akan mendiamkan warga Palestina di manapun itu kecuali Gaza. Mereka hanya akan berhenti menyerang Gaza," ujar Ziad kepada Tempo via telepon.
Ziad menambahkan, serangan Israel kepada warga Palestina, terjadi harian, bukan sebulan sekali ataupun setahun sekali. Kasus Sheikh Jarrah, Al-Aqsa, dan Gaza akhir-akhir ini, kata ia, hanyalah apa yang membuat media kembali menyorot situasi Palestina dan Israel. Itulah kenapa, dirinya tetap waspada akan kemungkinan serangan lanjutan dari Israel.
Per berita ini ditulis, ada 200 lebih orang yang menjadi korban pertempuran Israel dan Palestina. Menurut data WHO, ada 257 orang meninggal dan 8.538 cedera selama 11 hari pertempuran antara milisi Palestina (Hamas) dengan angkatan bersenjata Israel.
Di Israel, PM Benjamin Netanyahu dikritik keras karena menyetujui gencatan senjata. Kelompok oposisi bahkan menyebut keputusan Netanyahu memalukan. Partai sayap kanan Israel, Jewis Power Party, mengatakan keputusan Netanyahu adalah sikap tunduk terhadap dikte dari Hamas.
Netanyahu membela diri, mengatakan bahwa apa yang dilakukan angkatan bersenjata Israel telah memberi dampak besar ke Hamas. "Angkatan bersenjata telah memberikan kerusakan maksimum ke Hamas dengan jumlah korban minimum di Israel," ujar Netanyahu soal serangan roket ke Palestina.
Baca juga: 11 Hari Pertempuran dengan Israel, Segini Kerugian yang Dialami Gaza
ISTMAN MP