TEMPO.CO, Jakarta - Ketika serangan Israel membunuh ratusan orang Palestina di Gaza, termasuk puluhan anak-anak, Presiden Amerika Serikat Joe Biden dikabarkan mau menjual senjata berpemandu canggih buatan Boeing senilai USD 735 juta atau setara Rp 10,4 triliun ke Israel.
Tidak sangsi, Amerika Serikat adalah pendukung kuat Israel dan bahkan menggelontorkan bantuan masif daripada negara lain.
Lembar fakta Departemen Luar Negeri AS menyebut AS adalah negara pertama yang mengakui Israel pada 1948, dan yang pertama mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 2017 di era Donald Trump.
"Komitmen Amerika Serikat terhadap keamanan Israel didukung oleh kerja sama pertahanan yang kuat dan Memorandum of Understanding (MoU) 10 tahun senilai US$ 38 miliar (Rp 543,8 triliun) yang ditandatangani oleh Amerika Serikat dan Israel pada tahun 2016," kata Departemen Luar Negeri AS di situs webnya, yang dirilis 20 Januari 2021.
Sesuai dengan MOU tersebut, Amerika Serikat setiap tahun menyediakan US$ 3,3 miliar (Rp 47,2 triliun) dalam Pembiayaan Militer Asing dan US$ 500 juta (Rp 7 triliun) untuk program kerja sama untuk pertahanan rudal.
Bahkan Joe Biden, yang menjanjikan dukungan Palestina selama kampanye pilpres AS, tidak melepas dukungan historis kepada Israel. Sikap Biden telah dikecam oleh sesama Demokrat yang progresif seperti Rashida Tlaib, Ilhan Omar, dan Alexandria Ocasio-Cortez.
Pertanyaannya adalah kenapa dan bagaimana Amerika Serikat bisa menjadi pendukung utama Israel, bahkan ketika Israel melanggar hak asasi manusia?
Riwayat hubungan Amerika Serikat dan Israel
Presiden Harry Truman adalah kepala negara pertama yang mengakui Israel ketika dibentuk pada 1948.
Dikutip dari Al Jazeera, 19 Mei 2021, pengakuan itu sebagian karena ikatan pribadi. Mantan mitra bisnis Truman, Edward Jacobson, memainkan peran penting dalam meletakkan dasar bagi AS dalam mengakui Israel sebagai sebuah negara. Namun ada juga pertimbangan strategis yang mendorong keputusan tersebut.
Pengakuan itu terjadi tepat setelah Perang Dunia II, ketika Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet mulai terjadi.
Timur Tengah, dengan cadangan minyak dan jalur airnya yang strategis (Terusan Suez) adalah medan pertempuran utama untuk pengaruh hegemoni negara adidaya. AS mengambil alih dari kekuatan Eropa yang sangat lemah sebagai poros kekuatan barat utama di Timur Tengah.
Tentara Israel berbicara dengan pemuda Palestina selama protes anti-Israel atas kekerasan lintas perbatasan antara militan Palestina di Gaza dan militer Israel, dekat pos pemeriksaan Hawara dekat Nablus di Tepi Barat yang diduduki Israel, 18 Mei 2021. REUTERS/Raneen Sawafta
Dalam perang 1967 Israel mengalahkan pasukan Mesir, Suriah dan Yordania, dan menduduki Palestina serta beberapa wilayah dari Suriah dan Mesir.
Sejak itu, AS telah bertindak tegas untuk mendukung superioritas militer Israel di wilayah tersebut dan untuk mencegah tindakan permusuhan terhadapnya oleh negara-negara Arab.
Hubungan AS-Israel tumbuh dengan pesat setelah tahun 1967, karena sebagian besar karena perubahan penahanan dan postur strategis AS.
Dilansir dari Vox, menurut Michael Barnett, pakar ilmu politik Universitas George Washington, presiden dan ahli strategi Amerika melihat Israel sebagai alat yang berguna untuk menahan pengaruh Soviet di Timur Tengah, yang signifikan di antara negara-negara Arab, dan menggunakan dukungan diplomatik dan militer untuk menjalin Israel dengan kuat ke dalam blok anti-Soviet.
Untuk satu hal, pendekatan AS ke Timur Tengah tidak banyak berubah setelah Perang Dingin. AS semakin terlibat dalam mengelola perselisihan dan masalah di Timur Tengah selama Perang Dingin, dan mempertahankan peran itu sebagai satu-satunya kekuatan super dunia pada tahun 90-an. Stabilitas di Timur Tengah terus menjadi kepentingan utama Amerika, karena sejumlah alasan termasuk pasar minyak global, dan AS mengambil peran sebagai penjamin stabilitas regional.
Secara strategis AS melihat penting untuk mendukung negara-negara seperti Mesir, Arab Saudi, dan Israel yang membutuhkan dukungan konservatif AS. Tidak seperti Iran, Suriah, dan Irak, negara-negara ini pada dasarnya baik-baik saja dengan status quo di Timur Tengah.
Mendukung Israel bagus untuk politik dalam negeri AS