TEMPO.CO, Jakarta - Militer Myanmar semakin keras dalam merespon demonstransi terhadap mereka. Perkembangan terbaru, Militer Myanmar mulai menggunakan senapan pelontar granat untuk memukul mundur para demonstran per Jumat kemarin. Hasilnya fatal dengan 80 demonstran di Yangon tewas karena senjata tersebut menurut laporan Asosiasi Bantuan Hukum untuk Tahanan Politik (AAPP).
Awalnya, detil dari pembunuhan yang berlokasi di kota Bago, 90 kilometer di timur laut Yangon, tersebut tidak terbuka lebar. Militer Myanmar sempat menutupinya dan kemudian mengumpulkan seluruh jenazah yang mereka bunuh di pagoda Zeyar Muni. Data berapa banyak yang terbunuh baru terungkap belakangan.
"Total ada 82 orang yang tewas dibunuh. Ini seperti genosida. Mereka membunuh siapapun, bahkan bayangan," ujar salah seorang demonstran, Ye Htut, dikutip dari kantor berita Reuters, Sabtu, 10 April 2021.
Merespon insiden itu, Ye Htut menyatakan sejumlah warga dan demonstran mulai kabur ke wilayah lain untuk berlindung. Mereka khawatir menjadi target Militer Myanmar berikutnya. Adapun Militer Myanmar enggan memberikan keterangan soal penembakan terkait.
Per berita ini ditulis, AAPP melaporkan jumlah korban jiwa selama kudeta berlangsung telah mencapai 618 orang. Sebanyak 40an di antaranya adalah anak-anak, baik yang tewas dibunuh karena disengaja ataupun tak disengaja.
Belum diketahui apakah data tersebut sudah mengikutkan pembunuhan oleh kelompok etnis bersenjata di Naungmon, negara bagian Shan. Menurut berbagai media lokal, kelompok etnis bersenjata di Myanmar sudah membunuh 10-15 orang polisi di Naungmon. Kelompok etnis tersebut terdiri atas Arakan Army, Ta'ang National Liberation Army, serta Myanmar National Democratic Alliance Army.
Adpapun Militer Myanmar, pada Jumat kemarin, mengungkapkan data yang berbeda. Menurut mereka, hanya ada 248 warga yang tewas selama kudeta Myanmar. Selain itu, Militer Myanmar juga menyebut ada 16 personil kepolisian yang tewas dalam menjalankan tugas.
Baca juga: Unjuk Rasa di Myanmar Kembali Memakan Korban
ISTMAN MP | REUTERS