TEMPO.CO, Jakarta - Perlawanan warga mereda di mata Militer Myanmar. Dikutip dari kantor berita Reuters, juru bicara Militer Myanmar Brigadir Jenderal Zaw Min Tun mengklaim warga mulai berhenti melakukan perlawanan karena mereka menginginkan damai. Oleh karenanya, kata Zaw Min Tun, pemerintahan Myanmar akan kembali normal sesegera mungkin setelah dua bulan terakhir diisi bentrokan antara warga dengan militer.
"Alasan dari berkurangnya protes karena adanya upaya kerjasama dari rakyat untuk menciptakan perdamaian dan hal itu yang kami hormati. Kami meminta warga untuk kooperatif dengan kami dan sebagai gantinya kami akan menolong mereka," ujar Zaw Min Tun, Jumat, 9 April 2021.
Tak hanya mengklaim perlawanan mulai mereda, Zaw Min Tun juga mengklaim rezim junta militer diakui oleh komunitas internasional. Ia menyebut media-media yang mengabarkan bahwa Myanmar mulai diasingkan komunitas internasional sebagai berita bohong.
Sebagai catatan, Militer Myanmar telah membredel media-media lokal yang mereka anggap tidak sejalan dengan visi dan misi rezimnya. Saat ini, hanya media-media milik pemerintah saya yang beroperasi secara resmi di mana otomatis membuat mereka menjadi corong langsung Militer Myanmar.
"Kami kooperatif dengan negara-negara tetangga dan bekerjasama dengan mereka," ujar Zaw Min Tun dengan rasa percaya diri.
Meski Militer Myanmar mengklaim perlawanan warga mulai mereda, fakta di lapangan berkata beda. Pembunuhan terhadap warga lokal masih terjadi. Di kota Bago misalnya, yang berdekatan dengan Yangon, sebanyak empat orang warga dibunuh oleh personil Militer Myanmar. Hal itu didukung kesaksian warga dan media setempat.
Penduduk desa memprotes kudeta militer, di kota Launglon, Myanmar 4 April 2021 dalam gambar yang diperoleh dari media sosial ini. [Dawei Watch / melalui REUTERS]
Asosiasi Bantuan Hukum untuk Tahanan Politik (AAPP) pun menyatakan hal senada. Laporan terbaru mereka menunjukkan jumlah pembunuhan terhadap warga lokal masih terus bertambah. Per berita ini ditulis, jumlah warga yang meninggal ada 614 orang sejak kudeta Myanmar dimulai pada 1 Februari lalu. Sebanyak 48 di antaranya adalah anak-anak.
Jumlah mereka yang ditangkap dan ditahan pun juga terus bertambah. Hal itu menyusul penerbitan ratusan surat perintah penangkapan oleh Militer Myanmar untuk memburu tokoh publik, influencer, selebritas, politisi, aktivis, dan blogger yang dianggap memprovokasi warga untuk melawan junta.
Merespon perkembangan terbaru, 18 duta besar Myanmar bersatu untuk mendesak junta segera mengakhiri kudeta, membebaskan tahanan politik, dan memulihkan demokrasi. Salah satunya adalah Dubes Myanmar di Inggris, Kyaw Zwar Minn, yang telah "dikudeta" oleh deputinya sendiri sehingga sekarang tak bisa menempati posnya seperti semula.
"Kami bersatu untuk mendukung harapan dan aspirasi warga yang percaya terhadap kebebasan, kedamaian, dan demokrasi Myanmar bisa kembali pulih. Kekerasan harus dihentikan, tahanan politik harus dibebaskan, dan demokrasi harus kembali," ujar para duta besar dalam pernyataan bersama. Beberapa di antaranya adalah dubes Myanmar di Amerika, Inggris, Uni Eropa, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Korea Selatan.
Baca juga: Aktor Myanmar Paing Takhon Ditangkap Pasukan Keamanan Junta Militer
ISTMAN MP | REUTERS