TEMPO.CO, Jakarta - Aparat keamanan di Myanmar melepaskan tembakan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan demonstran yang berunjuk rasa pada Kamis, 4 Maret 2021. Masyarakat Myanmar masih turun ke jalan kendati sudah 38 orang tewas sejak kudeta militer terjadi pada bulan lalu.
Aksi turun ke jalan ini terjadi di Kota Yangon, Mandalay, Myingan dan kota-kota lain di Myanmar. Unjuk rasa ini sekaligus untuk mengenang kematian seorang demonstran, Ma Kyal Sin, 19 tahun, yang terbunuh dalam aksi protes Rabu, 3 Maret 2021.
Tens of thousands of people are protesting against the military coup in the town of Myingyan in central Myanmar despite the fact that one of the protesters in this town was shot dead during the crackdown yesterday. #WhatsHappeningInMyanmar pic.twitter.com/ttb8ULIt3D
— Myanmar Now (@Myanmar_Now_Eng) March 4, 2021
Kepala HAM PBB, Michelle Bachelet, menyerukan kepada aparat keamanan Myanmar agar menghentikan apa yang disebut Bachelet penumpasan yang kejam terhadap unjuk rasa damai.
Bachelet sangat yakin jumlah korban tewas dalam gelombang unjuk rasa di Myanmar lebih dari jumlah yang dilaporkan resmi. Diperkirakan juga ada lebih dari 1.700 orang ditahan, 29 orang diantaranya adalah wartawan.
“Kudeta militer harus dihentikan, termasuk memenjarakan demonstran,” kata Bachelet.
Dalam rangkaian unjuk rasa tersebut, demonstran meneriakkan penolakan mereka pada kudeta militer 1 Februari 2021 lalu dan menuntut agar Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar dibebaskan karena mereka mengakui kemenangan Suu Kyi dalam pemilu akhir November 2020 lalu.
“Kami tahu kami bisa saja terkena tembakan dan terbunuh dengan peluru tajam. Namun tidak ada artinya bertahan hidup di bawah Junta (militer),” kata Maung Saungkha, aktivis.
Di beberapa titik di Kota Yangon, Myanmar, demonstran menggantung sprei kasur dan sarung di sepanjang jalan untuk mengaburkan pandangan garis polisi dan melepaskan kawat berduri sehingga barikade demonstran lebih kuat.
Sumber: aljazeera.com