TEMPO.CO, Jakarta - Para guru dan polisi tidak bisa menerima keputusan Pemerintah Inggris mengubah kebijakan vaksinasi COVID-19nya dari yang awalnya memprioritaskan profesi menjadi usia. Menurut keduanya, keputusan itu adalah penghinaan terhadap upaya mereka selama ini untuk tetap bekerja di situasi pandemi.
Salah satu keluhan datang dari Serikat Kepala Sekolah Inggris Paul Whiteman. ia berkata, memprioritaskan usia dibandingkan profesi sama saja mengesampingkan apa saja yang telah dilakukan para guru selama ini untuk memastikan kegiatan belajar mengajar berlangsung aman selama pandemi.
"Pernyataan bahwa faktor profesi akan memperumit kampanye vaksinasi bukanlah alasan yang cukup untuk tidak memprioritaskan para pelayan publik yang professional dan berkomitmen," ujar Whiteman, dikutip dari Sky News, Jumat, 26 Februari 2021.
Whiteman tidak mau menjamin kegiatan belajar mengajar bakal mulus ke depannya. Jika para guru sampai sakit karena COVID-19, kata ia, maka pemerintah tidak memiliki cara selain menggelar sekolah dari rumah lagi.
"Guru yang sakit berarti guru yang tidak bisa hadir di kelas. Hal itu berarti gangguan lagi terhadap sistem pendidikan dan bisa saja nantinya sekolah digelar dari rumah lagi," ujar Whiteman sekaligus menyindir rencana Pemerintah Inggris memulai kegiatan di sekolah lagi.
Margaret Keenan, 90 tahun, saat disuntikan vaksin COVID-19 Pfizer/BioNtech di University Hospital, Coventry, Inggris, 8 Desember 2020. Britain December 8, 2020. Margaret Keenan menjadi orang pertama di dunia yang menerima vaksin COVID-19 Pfizer/BioNtech. Jacob King/Pool via REUTERS
Hal senada disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Asosial Kepala Sekolah dan Universitas Geoff Barton. Ia menganggap pemerintah lupa bahwa pendidikan adalah salah satu sektor prioritas di Inggris dan kesehatan guru adalah faktor integral.
Jika Pemerintah Inggris ingin kegiatan belajar mengajar di sekolah kembali dimulai, Barton menyarankan Inggris mengembalikan kebijakan vaksinasi sebelumnya. "Hal tersebut penting untuk memberi jaminan kepada para staff bahwa mereka akan aman bekerja di lingkungan sekolah yang padat. Di sisi lain, juga meminimalisir resiko penularan COVID-19," ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Federasi Kepolisian Inggris dan Wales, John Apter, memandang keputusan itu sebagai pengkhianatan terhadap personil di lapangan. Ia berkata, para personil kepolisian marah atas keputusan Pemerintah Inggris karena tidak menghargai nyawa para personil yang bertugas di lapangan, menertibkan mereka yang melanggar protokol kesehatan.
"Mereka berhadapan langsung dengan banyak orang, bertarung dengan mereka yang bandel, dan bekerja di lingkungan beresiko seperti rumah sakit. Tidak ada mitigasi COVID-19 bagi mereka (selain vaksin)."
"Sekarang, semua itu seperti tidak ada apa-apanya (tidak diharga). Ini benar-benar pengkhianatan yang tidak akan kami lupkana," ujar Apter mengomentari keputusan Inggris mengubah kebijakan vaksinasi COVID-19.
Petugas medis menunjukan vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech COVID-19. Badan Obat Norwegia (NMA) mengatakan hasil otopsi terhadap 13 jenazah menunjukkan bahwa efek samping umum vaksin covid-19 REUTERS/Andreas Gebert
Inggris adalah satu negara tercepat di dunia dalam melakukan vaksinasi COVID-19. Per berita ini ditulis, Inggris sudah menyuntikkan kurang lebih 18,5 juta dosis atau setara 27 per 100 orang. Angka itu nyaris lima kali lipat lebih tinggi dibanding negara-negara besar Eropa seperti Prancis dan Jerman yang baru bisa menyuntik 6 per 100 orang.
Pemerintah Inggris tidak ingin sampai capaian itu terganggu. Oleh karenanya, mereka mengubah kebijakan vaksinasi COVID-19 tahap kedua dengan lebih memprioritaskan penduduk berusia 40-49 tahun. Harapannya, dengan menyederhanakan kebijakannya, vaksinasi COVID-19 di Inggris bisa lebih ngebut lagi.
Baca juga: Vaksinasi COVID-19 Selanjutnya di Inggris Bakal Mengacu pada Usia
ISTMAN MP | SKY NEWS