TEMPO.CO, Jakarta - Kisruh royalti konten antara Facebook dan perusahaan media berpotensi terulang di Amerika. Dikutip dari kantor berita Reuters, Kongres Amerika berencana memperkenalkan regulasi baru yang akan mempermudah perusahaan media bernegosiasi dengan platform media sosial. Hal itu termasuk royalti yang harus dibayar pemilik media sosial untuk bisa menggunakan konten perusahaan media.
Anggota dari panel persaingan usaha di Parlemen Amerika, Ken Buck, mengatakan regulasi baru itu akan menekankan kolektivitas. Jelasnya, perusahaan-perusahaan media bisa secara kolektif melakukan negosiasi dengan platform media sosial seperti Facebook. Dengan begitu, media-media kecil jadi bisa memaksimalkan royalti yang didapat.
"Ini akan mirip dengan rancangan regulasi di tahun 2019 di mana penerbit-penerbit kecil bisa bekerjasama untuk mempermudah negosiasi dengan Facebook dan Google tanpa harus melalui pemeriksaan persaingan usaha," ujar Buck, Jumat, 19 Februari 2021.
Selama ini, media sosial memanfaatkan konten-konten dari perusahaan media untuk menarik pengguna. Namun, kecenderungannya, platform media sosial mendapat lebih banyak pemasukan dari iklan dibanding perusahaan media. Bagi perusahaan-perusahaan media, terutama media kecil, hal itu tidak adil.
Hal itu diperburuk dengan perusahaan-perusahaan media besar umumnya memiliki daya tawar lebih tinggi untuk pembagian hasil yang lebih adil. Perusahaan-perusahaan kecil kesulitan mencapai nilai yang sama kecuali bekerjasama.
Rancangan regulasi yang dibuat Amerika kali ini spesifik ditujukan untuk perusahaan-perusahaan kecil saja. Mereka yang paling banyak terdampak ketika industri berita terpukul oleh berkurangnya pemasukan iklan dan berubahnya perilaku konsumsi media.
Presiden dari News Media Alliance, David Chavern, mendukung rancangan regulasi itu. Menurutnya, media-media kecil memang jarang mendapat kesempatan untuk mendapatkan nilai royalti yang adil karena minimnya daya tawar.
"Perusahaan-perusahaan besar mungkin lebih mudah untuk mendapatkan nilai kesepakatan yang sesuai keinginan. Perusahaan-perusahaan kecil hanya bisa mencapainya jika bekerjasama," ujar Chavern.
Facebook, hingga berita ini ditulis, belum mau berkomentar. Saat ini mereka dalam sorotan sejak memblokir berita dan laman asal Australia di platform mereka. Hal itu adalah imbas dari tidak sepakatnya Facebook terhadap nilai royalti yang harus mereka bayar untuk bisa memakai konten dari media Australia.
Google, yang juga menjadi sasaran kebijakan yang sama, menunjukkan sikap berbeda. Mereka telah mencapai sejumlah kesepakatan nilai pembayaran di berbagaio negara. Dua di antaranya adalah Prancis dan Australia. Kesepakatan terbaru ditekennya bersama News Corp, kerajaan bisnis media yang dimiliki Rupert Murdoch.
Baca juga: Komunitas Internasional Kecam Langkah Facebook Blokir Outlet Media di Australia
ISTMAN MP | REUTERS