TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Cina memperkuat kebijakan sensornya terhadap konten-konten di dunia maya. Dikutip dari Channel News Asia, sekarang mereka membatasi Content Creator dalam membuat materi yang berkaitan dengan politik atau isu dalam negeri Cina. Bahkan, Administrasi Dunia Siber Cina bakal mewajibkan Content Creator mendapat sertifikasi dulu sebelum bebas posting di internet.
Dengan berlakunya aturan baru ini, mereka yang terbiasa menggarap konten soal politik Cina pun menjadi was-was. Selain takut konten mereka bakal dibatasi ke hal-hal yang bersifat propaganda, mereka juga takut dipersekusi. Ma Xiaolin, penulis isu dalam negeri Cina, mengaku sudah mulai mendapat peringatan soal konten politik saat hendak mempublikasikan materinya di platform media sosial Weibo.
"Ketika saya hendak mengunggah postingan, Weibo meminta saya untuk tidak mengunggah topik yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan militer Cina. Sebagai peneliti dan kolumnis, sepertinya saya terpaksa jadi penulis makanan dan minuman," sindir Ma Xiaolin dalam postingannya pada Januari lalu.
Jika tidak ada halangan, kewajiban sertifikasi untuk content creator itu akan mulai berlaku per pekan depan. Administrasi Dunia Siber Cina menyampaikan, standarisasi ini diperlukan untuk memastikan opini publik di platform digital "berjalan ke arah seharusnya". Mereka tidak mendetilkan soal direksi seperti apa yang benar.
Sesungguhnya aturan serupa sudah diberlakukan di tahun 2017 di mana tulisan-tulisan soal politik dan militer dibatasi. Namun, saat itu, penerapannya belum luas. Aturan kali ini mengcover lebih banyak topik, termasuk ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan perkara hukum.
Para pakar menganggap hal ini sebagai bentuk pemberangusan kebebasan berpendapat. Namun, di satu sisi, mereka tidak heran karena Pemerintah Cina sudah berkali-kali menegaskan pandangannya soal kebebasan digital. Pemerintah Cina menginginkan kontrol yang tersentralisir.
Mereka juga menganggap pandemi COVID-19 mendorong Cina untuk mengambil kebijakan ketat. Sebab, ketika pandemi COVID-19 pertama kali meledak, kebanyakan informasi beredar lewat internet atau media sosial.
Penyedia platform media sosial seperti Baidu, Sohu, Weibo, dan Tencent enggan berkomentar soal isu ini. Administrasi Dunia Siber CIna juga melakukan hal senada. Sementara itu, pakar sensor digital dari Universitas California di Berkeley, Xiao Qiang, menyebutnya sebagai masalah besar.
"Ini masalah besar, sebuah kampanye yang masif. Ini bahkan bisa menyasar mereka yang tidak menulis hal-hal sensitif. Beberapa tahun terakhir, kontrol konten semakin ketat hingga orang-orang bahkan tidak berbicara apapun," ujar Qiang soal sensor konten di Cina.
Baca juga: Sebelum Menghilang, Jack Ma Sudah Menjadi Target Pemerintah Cina
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA