TEMPO.CO, - Iran hari ini memperingati haul pertama kematian Komandan Brigade Quds IRCG, Mayor Jenderal Qasem Soleimani yang dibunuh oleh Amerika Serikat pada 3 Januari 2020 di Irak. Kedutaan Besar Iran di Jakarta mengecam kembali peristiwa tersebut dan mengutuk perbuatan Amerika Serikat.
"Republik Islam Iran akan mengerahkan seluruh kapasitas politik, hukum dan internasionalnya untuk membalas teror jahat ini. Iran tidak akan terpancing oleh perkembangan situasi dan akan memberikan pembalasan yang tegas pada waktu dan tempat yang diharapkannya," bunyi keterangan resmi Kedutaan Iran untuk Indonesia, Ahad, 3 Januari 2021.
Pemerintah Iran menilai Soleimani merupakan simbol perlawanan terhadap terorisme dan radikalisme di kawasan Timur Tengah karena gencar memerangi ISIS dan kelompo takfiri di Suriah serta Irak. Pembunuhannya dianggap sebagai serangan teror terhadap pejabat resmi Iran.
"Dan merupakan bentuk nyata dari aksi terorisme yang berbasis pemerintahan atau terorisme negara. Tindakan biadab ini juga adalah pelanggaran yang luas terhadap berbagai peraturan internasional dan piagam PBB," katanya.
Kedutaan menjelaskan berdasarkan pernyataan pejabat tinggi Irak, pasukan asing (pasukan AS) melakukan aksi teror Soleimani saat berkunjung ke Bagdad sebagai tamu resmi negara. Tindakan ini mereka anggap pelanggaran kedaulatan Irak sebagai negara yang berdaulat.
Tindakan jahat yang dilakukan atas konsultasi dan provokasi Rezim Zionis Israel adalah sebuah kesalahan strategis yang akan berujung pada peningkatan rasa ketidakamanan di kawasan," ucap mereka.
Menurut Iran, aksi teror ini juga bertentangan dengan komitmen internasional AS dalam memerangi terorisme lantaran AS justru melawan orang-orang dan pihak-pihak yang berperang dengan kelompok teroris. Iran menilai Amerika Serikat menempatkan terorisme dalam kategori baik dan buruk, berdasarkan kepentingan mereka.
Pemerintah Iran menyinggung pula soal pembunuhan ilmuwan nuklir terkemuka mereka, Mohsen Fakhrizadeh, pada 27 November kemarin. Pembunuhan Soleimani, Fakhrizadeh, dan pejabat lain mereka anggap bertujuan untuk membuat Iran menyerah agar terjadi pergantian kekuasaan.
Selain itu, rentetan teror ini Iran anggap memiliki motif untuk menghambat pendekatan diplomatik dan dialog untuk menyelesaikan perbedaan di tingkat regional dan internasional. Merampas hak Iran atas penggunaan teknologi nuklir, hingga menciptakan krisis skala besar untuk semakin membuat kawasan Timur Tengah tidak stabil.