TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pejabat Jepang mengatakan pembangunan pangkalan sistem pertahanan rudal di laut kemungkinan membutuhkan biaya setidaknya dua kali lipat untuk penyelesaiannya.
Pemerintah Jepang telah meninggalkan rencana pembangunan sistem pertahanan rudal Aegis Ashore berbasis darat dan menundanya hingga 2028.
Reuters melansir sistem rudal ini akan dipasangkan dengan radar canggih superkuat Lockheed Martin Corp.
Pembangunan sistem rudal ini bertujuan untuk mencegat serangan rudal dari Korea Utara dan negara lain.
Pada Juni 2020 ini, eks Menteri Pertahanan Jepang, Taro Kono, menangguhkan rencana pembangunan dua lokasi sistem pertahanan rudal.
Sistem ini menelan biaya sekitar US$2 miliar atau sekitar Rp29,4 triliun. Penangguhan ini karena pertimbangan roket pendorong dapat jatuh ke kawasan rumah penduduk. Sebagai gantinya, dia menyarankan untuk memasang sistem pada platform laut atau kapal.
Menteri Pertahanan Jepang, Nobuo Kishi, sedang mempertimbangkan beberapa proposal soal ini. Ini termasuk menempatkan Aegis di platform yang menyerupai rig minyak, atau di kapal dagang, atau kapal angkatan laut, yang dikonversi. Nobuo Kishi mengatakan dia akan membuat keputusan tentang masa depan Aegis Ashore pada akhir 2020.
Penundaan dan biaya yang lebih tinggi dapat menghidupkan kembali dukungan untuk pembangunan sistem pertahanan rudal di darat.
Ini karena sistem keuangan publik Jepang tertekan oleh utang yang diperburuk dengan pengeluaran bantuan ekonomi untuk mengatasi virus corona yang besar.
Seorang pejabat kementerian Pertahanan mengatakan dia tidak mengetahui perkiraan biaya dan waktu yang terbaru untuk pertahanan rudal di laut. Menurut dia, baterai Aegis Ashore berbasis darat dijadwalkan akan beroperasi pada tahun 2025.
“Beberapa dari proposal itu masing-masing dapat menelan biaya lebih dari 4 miliar dollar AS atau sekitar Rp58,8 triliun.
Ini tidak termasuk rudal pencegat dan biaya operasi, yang akan melebihi biaya stasiun darat karena bahan bakar, pemeliharaan serta kru yang lebih besar,“ kata seorang pejabat Jepang yang mengetahui masalah itu. Sebuah kapal perusak memiliki sekitar 300 pelaut atau sekitar 10 kali lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk sebuah situs darat.
FARID NURHAKIM | REUTERS
Sumber: