TEMPO.CO, Jakarta - Seorang tentara dari pasukan khusus India asal Tibet dilaporkan tewas dalam konfrontasi terbaru dengan Cina di perbatasan Himalaya, Sabtu pekan lalu. Hal itu dikhawatirkan akan memicu kofrontasi yang lebih luas antara dua kekuatan regional tersebut.
Kematian tentara tersebut adalah yang pertama dari dua insiden yang dilaporkan terjadi di perbatasan Himalaya. Dan, kedua insiden tersebut terjadi dalam rentang waktu 48 jam. Adapun kabar perihal adanya korban tewas tersebut disampaikan oleh anggota parlemen Tibet, Namgyal Dolar Lhagyari.
"Dia tewas sebagai martir," ujar Lhagyari, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, Selasa, 2 September 2020.
Lhagyari tidak mengungkapkan siapa nama tentara tersebut. Ia hanya menyampaikan bahwa tentara itu berasal dari Tibet yang banyak dilibatkan dalam operasi militer India di perbatasan Himalaya.
Sejak pertempuran brutal dengan tongkat dan tangan kosong di Lembah Galwan pada 15 Juni lalu, kedua negara terpadat di dunia tersebut mengirimkan puluhan ribu tentara ke perbatasan Himalaya. Kedua pihak saling klaim soal bagian mana saja yang masuk ke dalam negara masing-masing.
Dalam berbagai kesempatan, konflik di antara keduanya berujung perkelahian yang akhirnya memuncak di bulan Juni lalu. Dalam peristiwa berdarah itu, 20 tentara India tewas karena diserang dengan benda tajam. Sebagai balasan, India memblokir berbagai aplikasi asal Cina, melabeli produk dari Cina, serta tidak melibatkan mereka dalam proyek-proyek strategis.
Kedua negara sesungguhnya sudah sepakat untuk berdamai demi mencegah eskalasi yang tidak perlu. Namun, upaya damai itu tak kunjung terlihat wujudnya mengingat konflik di perbatasan masih terjadi hingga sekarang.
Sementara itu, Amerika Serikat pada selasa kemarin mengatakan sedang memantau dengan cermat sengketa perbatasan. AS menyatakan bahwa pihaknya mengharapkan resolusi damai.
Sengketa perbatasan di Himalaya antara India dan Cina sudah berlangsung sejak tahun 1962. Keduanya menuduh satu sama lain karena telah mencoba melintasi perbatasan di wilayah Ladakh untuk mendapatkan lahan.
FERDINAND ANDRE | ALJAZEERA