TEMPO.CO, Jakarta - Bank sentral Lebanon, Banque Du Liban, hanya bisa mensubsidi bahan bakar, gandum dan obat-obatan untuk warga Lebanon selama tiga bulan lagi karena tidak lagi memiliki cadangan mata uang asing, menurut sebuah sumber resmi mengatakan pada pekan lalu.
Sumber tersebut mengatakan pada 20 Agustus kepada Reuters bahwa bank sentral telah memberi tahu pemerintah bahwa mereka akan mengakhiri subsidi untuk mencegah cadangan turun di bawah US$ 17,5 miliar (Rp 255,9 triliun).
Sumber lain memperkirakan pada pada Juli bahwa bank sentral memiliki cadangan sekitar US$ 18 miliar (Rp 263,2 triliun), sebelum ledakan besar di pelabuhan Beirut bulan ini yang menewaskan 179 orang dan menghancurkan sebagian kota, menurut laporan Reuters, 20 Agustus 2020.
Riad Salameh, gubernur Banque du Liban, bank sentral Lebanon, dilaporkan mengatakan kepada Presiden Michel Aoun bahwa hanya ada cukup uang tunai sebagai cadangan untuk mendanai subsidi barang-barang dasar seperti roti, gandum, bahan bakar dan obat-obatan selama tiga bulan, Arab News melaporkan, 25 Agustus 2020.
Kondisi bangunan bersejarah yang hancur akibat ledakan di Beirut, Lebanon, 13 Agustus 2020. Sebanyak 601 bangunan bersejarah hancur akibat ledakan yang mengguncang Beirut pada 4 Agustus lalu. Xinhua/Bilal Jawich
Bank sentral Lebanon memiliki US$ 19,6 miliar (Rp 286,6 triliun) yang tersedia, namun US$ 17,5 miliar (Rp 255,9 triliun) di antaranya harus disimpan untuk menutupi sebagian simpanan nasabah bank. Ini menyisakan US$ 2,1 miliar (Rp 30,7 triliun) untuk subsidi yang menelan biaya US$ 700 juta (Rp 10,2 triliun) sebulan.
Kekeringan finansial ini disebabkan oleh penurunan remitansi dari ekspatriat, yang mencapai US$ 7,5 miliar (Rp 109, triliun) pada 2019, jatuhnya pariwisata yang bernilai hingga US$ 7 miliar (Rp 102,3 triliun) setahun, dan kurangnya investasi.
Wabah virus corona dan ledakan di Beirut telah menambah krisis keuangan yang sejak akhir tahun lalu telah memangkas nilai poundsterling Lebanon di pasar paralel, dan berdampak pada impor karena dolar AS semakin langka. Inflasi dan kemiskinan Lebanon juga melonjak.
Namun, tarif resmi yang dipatok 1.507,5 poundsterling Lebanon per dolar AS, yang diberlakukan sejak 1997, tetap tersedia untuk mensubsidi impor utama bahan bakar, gandum, dan obat-obatan, untuk menjaga harga tetap stabil.
Pemerintahan saat ini, yang mengundurkan diri selama ledakan 4 Agustus dan tetap menjabat sebagai pengurus sementara, telah meluncurkan pembicaraan pada Mei dengan Dana Moneter Internasional (IMF) setelah gagal bayar pada utang mata uang asingnya yang besar karena cadangan yang rendah.
Tetapi negosiasi terhenti karena kelambanan reformasi dan pertikaian domestik mengenai besarnya kerugian dalam sistem keuangan.
Bantuan kemanusiaan asing telah mengalir masuk setelah ledakan pelabuhan, tetapi para donotur telah menjelaskan bahwa mereka tidak akan membantu negara tanpa reformasi untuk mengatasi korupsi yang mengakar dan salah urus.
Sementara itu Arab News melaporkan pemilik toko, restoran, dan bisnis lain di Beirut dan kota-kota lain di Lebanon pada Senin menolak lockdown yang diberlakukan pemerintah Lebanon untuk memperlambat penyebaran virus corona. Mereka mengatakan akan membuka kembali bisnisnya mulai Rabu.
Penolakan pelaku bisnis mencerminkan keprihatinan yang meningkat tentang kebuntuan politik dalam upaya membentuk pemerintahan baru dan memburuknya krisis Lebanon.
Sumber:
https://in.reuters.com/article/lebanon-crisis-cenbank-idINKBN25G1RH