TEMPO.CO, Jakarta - Pengunjuk rasa anti-lockdown Corona (COVID-19) di Amerika menggunakan segala daya untuk bisa membuka kembali bisnisnya. Kali ini, mereka menggunakan senjata api untuk mengancam siapapun yang melarang mereka untuk membuka bisnis lagi.
Salah satunya adalah Jamie Williams, pemilik studio tatto di timur Texas. Ogah menuruti aturan lockdown Corona, ia menempatkan pasukan bersenjata yang masing-masing menenteng senjata api, dan mengenakan rompi anti-peluru.
"Saya rasa adalah hak mereka (pengusaha) untuk membuka bisnis sekarang atau tidak. Mereka yang mencoba menghalangi tersebut, berdasarkan konstitusi, bisa dianggap melakukan perlawanan," ujar Philip Archibald, warga Texas yang disewa Williams untuk menjaga studionya, dikutip dari New York Times, Kamis, 14 Mei 2020.
Archibald dan teman-temannya memiliki misi untuk membantu siapapun yang ingin membuka bisnisnya kembali. Sambil menenteng senapa semi-otomatis AR-15, yang bisa menembakkan 800 putir peluru per menit, Archibald mengatakan bahwa larangan yang ada sekarang menyerangnya secara personal.
Williams bukanlah satu-satunya pemilik usaha yang memperkerjakan "milisi" seperti Archibald dan teman-temannya. Mengutip New York Times, beberapa hari terakhir setidaknya ada enam kasus di mana pemilik usaha menentang lockdown dengan memperkerjakan pasukan bersenjata. Bentuk usaha yang dilindungi bermacam-macam mulai dari salon hingga bar.
Situasi tersebut tak ayal menjadi pelik bagi aparat keamanan. Di satu sisi, mereka berkewajiban menertibkan warga yang melanggar lockdown. Namun, di saat bersamaan, warga melawan dengan senjata api di tangan.
Hal tersebut diperparah dengan pernyataan Jaksa Agung Ken Paxton. Paxton memberi peringatan kepada pemerintah kota Austin, San Antonio, dan Dallas untuk tidak membatasi warganya membuka usaha kembali. Sebab, hal tersebut bertentangan dengan keinginan Gubernur Texas, Greg Abbott, yang ingin melonggarkan lockdown.
Archibald dan teman-temannya yang seprofesi tidak hanya melindungi mereka yang ingin membuka usaha kembali. Mereka juga melindungi aksi unjuk rasa anti-lockdown. Salah satunya mereka lakukan pekan lalu di Odessa perihal penutupan bar karena beroperasi di kala lockdown.
Kepolisian sempat menahan Archibald dan kawan-kawan yang terlibat dalam unjuk rasa tersebut. Namun, sesudah dilepas, mereka tidak belajar dari penhgalaman dan kembali melakukan pekerjaan mereka.
"Senjata ini bukan untuk gaya-gayaan. Kami benar-benar siap mati melindungi mereka (yang menentang lockdown)," ujar J.P Campbell, veteran perang pendiri grup Freedom Fighters of Texas yang melindungi para pengusaha yang ingin membuka kembali bisnisnya.
Perlindungan yang mereka berikan tidak sebatas penjagaan keamanan. C.J Grisham, pensiunan militer yang memiliki grup Open Carry Texas, mengatakan organisasinya ikut memastikan mereka yang ditahan karena menentang lockdown tetap mendapatkan pengacara. Hal itu ia lakukan ketika teman-teman seprofesi dan pemilik usaha ditahan karena unjuk rasa di Odessa.
"Kami menginginginkan kedamaian, tetapi kami juga siap untuk perang. Saya tidak berharap perang terjadi, namun ada kalanya senjata bukan untuk pertunjukkan kekuatan tetapi sebagai respon," ujar Grisham.
Merespon perlawanan yang ada, Sherrif Mike Griffis dari Odesa mengatakan bahwa satuannya tidak memiliki pilihan lain selain menertibkan para milisi tersebut. Ia tidak peduli meskipun para 'milisi' itu dianggap pahlawan. "Buat apa ada hukum jika kami, sebagai tulang punggungnya, tidak menegakkan apa yang diperintahkan," ujarnya singkat.
Amerika, per hari ini, tercatat memiliki 1,4 juta kasus dan 85 ribu korban meninggal akibat virus Corona (COVID-19). Meski begitu, hal tersebut tidak menghalangi Presiden Donald Trump untuk mendorong pelonggaran lockdown.
ISTMAN MP | NEW YORK TIMES