TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Donald Trump berdiri di samping Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ketika Trump mengungkap "Perjanjian Abad ini" untuk perdamaian Palestina dan Israel pada Selasa kemarin di Gedung Putih.
Namun, absennya perwakilan Palestina dan para pemimpin Palestina menegaskan penolakan rencana tersebut. Permukiman yang diusulkan lebih mengutamakan prioritas Israel daripada membuat kedua belah pihak membuat konsesi yang signifikan.
Di awal masa kepresidenannya Trump pernah mengungkap akan membuat perjanjian Palestina-Israel dan perjanjian damai terbesar yang pernah dibayangkan. Tiga tahun kemudian, menantunya sekaligus penasihat senior untuk Timur Tengah, Jared Kushner, mengungkapkan rancangan perjanjian.
Lalu apa sebenarnya isi Perdamaian Timur Tengah ala Trump?
Dikuti dari New York Times, 30 Januari 2020, Amerika Serikat telah lama menyuarakan dukungan untuk pembentukan negara Palestina dengan hanya sedikit penyesuaian pada batas-batas Israel yang ada sebelum perang Arab-Israel tahun 1967, ketika Israel merebut Tepi Barat dari Yordania, dan Gaza dari Mesir.
Alih-alih, rencana Trump setebal 181 halaman itu mengusulkan Tepi Barat yang penuh dengan potongan-potongan wilayah Israel yang saling berhubungan yang berisi permukiman Yahudi, banyak dari mereka sebagian besar dikelilingi oleh tanah Palestina. Bagi Palestina, itu berarti menyerahkan klaim atas sejumlah besar tanah Tepi Barat termasuk tempat-tempat di mana Israel telah membangun permukiman selama setengah abad terakhir dan daerah-daerah strategis di sepanjang perbatasan Yordania. Sebagian besar dunia menganggap permukiman itu ilegal.
Kerangka kerja ini juga mengesampingkan tujuan lama negara Palestina yang sepenuhnya otonom. Sebaliknya, Trump secara samar-samar berjanji bahwa Palestina dapat "mencapai negara merdeka sendiri" tetapi memberikan beberapa detail, sementara Netanyahu mengatakan kesepakatan itu menyediakan "jalan menuju negara Palestina".
Benjamin Netanyahu mengumumkan bahwa jika terpilih kembali, ia akan memperluas tanah jajahan Israel atas Lembah Yordan, 10 September 2019. [Avshalom Sassoni / Jerusalem Post]
Orang-orang Palestina tidak menyukai rencana itu, meskipun kesepakatan itu memberi waktu empat tahun bagi mereka untuk terlibat dalam pembicaraan permukiman baru. Selama waktu itu, Israel akan menahan diri untuk tidak membangun permukiman di bagian-bagian Tepi Barat yang telah ditetapkan rencana itu untuk Palestina.
Usulan Amerika sebelumnya berbicara tentang memindahkan puluhan ribu warga Israel dari permukiman untuk mengembalikan daerah-daerah tersebut ke Palestina untuk dimasukkan dalam negara mereka, tetapi rencana Trump berjanji untuk meninggalkan pemukim dan warga Palestina di tanah yang mereka tempati saat ini.
Rencana itu juga membayangkan ibu kota Palestina di "Yerusalem timur," di tepi luar kota di luar batas keamanan Israel, sambil menjamin kedaulatan Israel atas seluruh Yerusalem. Kota ini adalah situs suci bagi kepercayaan Yahudi, Muslim dan Kristen dan telah lama menjadi titik penting dalam negosiasi perdamaian.
Netanyahu kemudian mengklarifikasi bahwa ibu kota Palestina yang diusulkan akan berada di Abu Dis, sebuah desa Palestina di pinggiran kota suci.
Rencana tersebut mengusulkan hubungan transportasi antara wilayah Palestina yang tidak terhubung di Tepi Barat dan Gaza. Tetapi elemen dari rencana yang mungkin terbukti sebagai satu-satunya efek abadi adalah pengakuan Amerika atas klaim Israel atas Lembah Yordan dan semua permukiman Yahudi di Tepi Barat.
Proposal itu memberikan persetujuan Amerika terhadap rencana Israel untuk mendefinisikan kembali perbatasan negara itu dan secara resmi mencaplok permukiman di Tepi Barat dan Lembah Yordan yang telah lama berusaha dikendalikan Israel.
Perjanjian itu akan membuat bagian Tepi Barat dari negara potensial Palestina dikelilingi oleh Israel. Pasukan Israel merebut Tepi Barat dari Yordania selama perang 1967, dan permukiman Israel terus merambah wilayah tersebut selama beberapa dekade sejak itu, sebuah langkah yang sebagian besar dikutuk secara internasional.