TEMPO.CO, New Delhi – Majelis rendah parlemen India bakal membahas pengesahan Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan bagi kelompok minoritas di negara-negara tetangga seperti Pakistan dan India.
Para pengritik menilai pengesahan RUU ini melanggar semangat konstitusi India sebagai negara sekuler.
RUU Kewarganegaraan ini bakal menjalani proses lanjutan untuk disahkan atau ditolak di Majelis Tinggi. Salah satu poin dari RUU itu adalah mengamandemen UU 1955 untuk memberikan kewarganegaraan bagi orang Hindu, Budha, Jainisme, Kristen, Sikh, dan Parsi.
Kelompok minoritas ini kerap menghadapi persekusi di Pakistan, Bangladesh, dan Afganistan.
“Shashi Tharoor dari Partai Kongres menolak RUU ini dan menyebutnya inkonstitusional secara fundamental,” begitu dilansir Aljazeera pada Senin, 9 Desember 2019.
Sejumlah aktivis dan partai oposisi mengatakan RUU ini bersifat diskriminatif. Sebagian lainnya menyebut RUU itu merupakan upaya untuk meminggirkan sekitar 200 juta Muslim di India.
RUU itu mendapat pengesahan yang mudah di Majelis Rendah atau Lok Sabha karena Partai Bharatiya Janata menguasai mayoritas kursi. Namun, RUU ini bakal mendapat dukungan lebih sedikit di Majelis Tinggi atau Rajya Sabha. RUU baru bisa menjadi undang-undang jika mendapat dukungan dari kedua majelis.
Media India Today melansir Menteri Dalam Negeri, Amit Shah, mengajukan RUU Kewarganegaraan ke Lok Sabha pada Senin meskipun terdapat banyak penentangan di berbagai daerah di India.
“Amit Shah berargumen RUU ini tidak menentang Muslim atau minoritas dan tidak menyebutnya dalam satu barispun,” begitu dilansir India Today.
Dia juga meminta anggota parlemen dari kelompok oposisi untuk mau mendengarkannya saat menjelaskan RUU ini dan tidak melakukan aksi walk out atau protes keluar dari ruang sidang parlemen.
Amit Shah mengatakan RUU ini dibuat untuk memberikan status kewarganegaraan bagi para pengungsi asal Pakistan, Bangladesh, Afganistan, yang menghadapi persekusi di negara asalnya.