TEMPO.CO, Jakarta - Militer Kamboja mengerahkan pasukannya di sepanjang perbatasan menyusul kepulangan tokoh oposisi yang disebut PM Hun Sen sebagai upaya kudeta.
Menurut laporan Reuters, 4 November 2019, setidaktnya 48 aktivis oposisi ditangkap tahun ini dan dituduh berencana menggulingkan pemerintahan sebelum kepulangan Sam Rainsy, pendiri partai oposisi Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP), pada Sabtu ini, 9 November.
Pada Selasa, Amnesty International memperingatkan Kamboja harus mengakhiri penangkapan dan penuntutan secara sewenang-wenang mantan anggota oposisi Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP) dan membebaskan semua tahanan yang ditahan karena menjalankan hak-hak mereka secara damai, seperti dikutip Radio Free Asia.
Selain mengerahkan pasukan, militer Kamboja juga menggelar latihan dengan peluru tajam.
"Di sepanjang perbatasan, kami menggunakan pasukan yang ada di lapangan...dan kami menggunakan peluru sungguhan dalam latihan," kata juru bicara Kementerian Pertahanan Kamboja Chhum Sucheat pada Senin.
Sucheat mengatakan pasukan hanya akan merespons jika oposisi menggunakan kekerasan.
Rainsy melarikan diri ke Prancis empat tahun setelah divonis dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik, di mana ia diperintahkan untuk membayar US$ 1 juta sebagai kompensasi. Dia juga menghadapi hukuman penjara lima tahun dalam kasus terpisah.
Sebelumnya Sam Rainsy mengatakan, adalah sah untuk berusaha menjatuhkan Hun Sen karena perdana menteri telah menciptakan negara satu partai dan tidak siap untuk mengadakan pemilihan yang bebas dan adil.
Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, memberikan hak suaranya pada Pemilu Kamboja 2018, Minggu, 29 Juli 2018. Sumber: TEMPO/Suci Sekar
Tahun lalu, Hun Sen mempertahankan kekuasannya kembali yang telah berlangsung tiga puluh tahun lebih dalam pemilihan di mana partainya yang berkuasa memenangkan semua kursi di parlemen.
CNRP telah dibubarkan berbulan-bulan sebelum pemilihan oleh Mahkamah Agung, setelah penangkapan pemimpin partai Kem Sokha pada 2017.
Dalam sebuah video yang diunggah di media sosial pada hari Senin, Rainsy mengimbau para prajurit untuk tidak mematuhi jika Hun Sen memerintahkan mereka untuk menembak sesama warga Kamboja.
"Hun Sen bergantung pada pasukan bersenjata, polisi, polisi militer, pengawal, penjaga keamanan ... pasukan bersenjata itu jelas tidak akan mendengarkan perintah Hun Sen dan sekutunya," kata Rainsy.
"Rencana saya untuk kembali ke tanah air telah lancar dan tidak berubah ... meskipun ada ancaman, intimidasi dan penganiayaan terhadap aktivis Partai Penyelamat Nasional," kata Rainsy. "Situasi ini menguntungkan bagi kaum nasionalis dan demokrat."
Sementara Mu Sochua, mantan wakil presiden CNRP, ditolak masuk ke Thailand bulan lalu ketika hendak pulang ke Kamboja. Otoritas penerbangan sipil Kamboja juga mengancam maskapai yang membawa pulang pemimpin oposisi ke tanah air.