TEMPO.CO, Hong Kong – Perusahaan keuangan global Goldman Sachs memperkirakan terjadinya pelarian dana dari Hong Kong ke Singapura sebanyak sekitar US$4 miliar atau sekitar Rp57 triliun.
Jumlah uang ini berpindah selama empat bulan terakhir atau bersamaan dengan semakin ramainya aksi unjuk rasa masyarakat Hong Kong, yang kerap berakhir dengan bentrok fisik dengan petugas.
“Meski begitu, sistem perbankan Hong Kong masih memiliki likuiditas yang mencukupi dalam bentuk uang dolar Hong Kong dan mata uang asing,” begitu pernyataan dari tim riset Goldman seperti dilansir Channel News Asia pada Kamis, 3 Oktober 2019.
Unjuk rasa anti-pemerintah digelar di berbagai lokasi di Hong Kong selama empat bulan terakhir. Mereka menolak pembahasan legislasi ekstradisi yang memungkinkan warga diadili di Cina.
Meski legislasi ini telah ditarik warga masih terus berunjuk rasa menuntut diterapkannya sistem demokrasi secara penuh. Ini agar mereka bisa memilih para pemimpinnya secara langsung dan bukan sekadar menerima pemimpin yang ditunjuk pemerintah Cina.
Unjuk rasa meningkat pada Selasa, 1 Oktober 2019 atau saat perayaan 70 tahun berdirinya Cina. Sekitar seratus orang terluka dan polisi menembakkan 1.400 kaleng gas air mata. Polisi juga menembakkan 900 butir peluru karet serta lima peluru tajam kepada perusuh yang melemparkan bom molotov serta menggunakan tongkat besi.
Saat ini, jumlah dana deposito di Hong Kong masih relatif tinggi yaitu sekitar US$1.73 trillion atau sekitar Rp25 ribu triliun pada Agustus 2019. Data ini dilansir oleh lembaga Refinitiv Datastream.
Namun, data menunjukkan jumlah deposito dalam dolar Hong Kong menurun dan simpanan dalam dolar AS meningkat. Otoritas Moneter Hong Kong masih menilai ini sebagai hal wajar dan bersifat fluktuatif.
Menurut otoritas, peningkatan deposito dolar ini terjadi akibat transfer dana. Otoritas mematok dolar Hong Kong pada 7.75 – 7.85 per dolar AS. Otoritas tidak menjelaskan alasan transfer dana dari dolar Hong Kong ke dolar AS.