TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan ribu pelajar di penjuru Selandia Baru mogok sekolah dan melakukan aksi turun ke jalan pada Jumat, 27 September 2019 untuk memprotes dilakukannya langkah-langkah penanganan perubahan iklim. Aksi ini adalah yang kedua kalinya dilakukan pelajar di negara itu.
Aksi protes dilakukan di sejumlah kota besar dan kota kecil di penjuru Selandia Baru. Mereka membawa sejumlah spanduk bertuliskan protes mereka. Aksi mogok sekolah dan turun ke jalan memprotes perubahan iklim ini terinspirasi dari remaja asal Swedia bernama Greta Thunberg, 16 tahun.
“Kami mengesampingkan pelajaran-pelajaran kami di sekolah supaya kami bisa mengajari Anda dan Anda tidak bisa mengatasi perubahan iklim,” demikian bunyi salah satu spanduk demonstran.
Pengkoordinir unjuk rasa mogok sekolah menuntut penanganan perubahan iklim di Selandia Baru menerima setumpuk laporan yang menyebut 170 ribu pelajar melakukan aksi ini di penjuru negara itu. Angka tersebut mewakili 3,5 persen populasi Selandia Baru.
Pemberitaan media lokal menyebut di ibu kota Wellington ada sekitar 40 ribu pelajar melakukan aksi ini. Mereka mengajukan sebuah petisi yang menyerukan parlemen agar pemerintah menyatakan darurat perubahan iklim.
Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, yang sedang di New York, Amerika Serikat, mengikuti siding umum PBB, mengatakan pihaknya mendapat dukungan dari empat negara yang telah mengajukan sebuah kesepakatan perdagangan baru untuk mengatasi masalah akibat dampak perubahan iklim. Menurutnya, sejumlah negosiasi soal ini akan mulai dilakukan pada awal tahun depan dengan Norwegia, Islandia, Kosta Rika dan Fiji.
Unjuk rasa para pelajar ini menuai kontroversi di Selandia Baru. Banyak yang menyebut para pelajar itu seharusnya berada di sekolah, bukannya turun ke jalan untuk berunjuk rasa soal perubahan iklim. Namun seorang pengunjuk rasa dari Auckland, Elizabeth Glassie, berpandangan pendidikan yang diperolehnya dari sekolah tidak akan ada artinya jika dia tidak punya masa depan atau tak punya tanah untuk hidup.