TEMPO.CO, Kolombo – Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB menunda pelibatan pasukan militer Sri Lanka dari kegiatan sebagai pasukan perdamaian.
PBB melakukan ini telah pemerintah Sri Lanka menunjuk seorang veteran perang, yang diduga kuat terlibat pelanggaran serius Hak Asasi Manusia.
“Kami mengungkapkan kekhawatiran kami kepada pemerintah Sri Lanka mengenai penunjukan Letnan Jenderal Shavendra Silva sebagai pimpinan militer. Ini karena ada tuduhan kredibel yang terdokumentasi dengan baik mengenai dugaan keterlibatannya dalam pelanggaran HAM serius,” kata Farhan Haq, juru bicara PBB di New York, Amerika Serikat, seperti dilansir Channel News Asia pada Kamis, 26 September 2019.
Haq melanjutkan,”Terkait penunjukkannya itu, Departemen Operasi Perdamaian PBB menunda pelibatan pasukan militer Sri Lanka di masa depan kecuali jika penundaan itu membuat operasi PBB menjadi berisiko serius.”
Silva, 55 tahun, dianggap berhasil memimpin pasukan melawan milisi separatis Macan Tamil pada tahap final, yang menyudahi perang brutal selama 26 tahun di Sri Lanka.
Namun, keberhasilan ini dicemari dengan kontroversial. Ini terjadi karena ribuan warga sipil meninggal akibat serangan pasukan militer termasuk di wilayah larangan kontak senjata atau no-fire zone. Pasukan Sri Lanka terus menerus membombardir wilayah damai ini termasuk menghancurkan rumah sakit.
Panel dari PBB telah menuding divisi militer yang dipimpin Silva diduga kuat melakukan pembunuhan semena-mena atau extra-judicial killing terhadap para pemberontak tidak bersenjata pada pekan terakhir perang, yang berakhir pada 2009.
Panel PBB juga menuding pasukan pimpinan Silva melakukan penyiksaan sistematis terhadap warga Tamil yang ditahan.
Silva membantah tudingan ini. Dia masuk sebagai tentara pada 1984 dan menjadi kepala staf sejak Januari 2019.
Soal penunjukan Silva itu, Komisaris Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet, mengatakan promosi Silva merusak secara serius komitmen Sri Lanka untuk mempromosikan keadilan dan pertanggung-jawaban.
“Tudingan pelanggaran HAM berat terhadap dia (Silva), terdokumentasi oleh PBB dan organisasi lain. Itu tudingan serius dan kredibel,” begitu pernyataan keras PBB terhadap penunjukan Silva.
Kelompok HAM menilai penunjukkan Silva ini justru menghambat proses rekonsiliasi di Sri Lanka.
“Setelah begitu banyak pertumpahan darah, rakyat Sri Lanka perlu meminta pertanggung-jawaban para pemimpinnya untuk menghentikan siklus kekerasan yang telah terjadi,” kata Yasmin Sooka, direktur eksekutif dari organisasi The International Truth and Justrice Project, kepada Aljazeera.