TEMPO.CO, Jakarta - Kabar tewasnya mantan Presiden Peru, Alan Garcia pada Rabu, 17 April 2019, mengejutkan publik dunia. Garcia tewas dengan cara sangat tragis, yakni bunuh diri dengan cara menembak dirinya sendiri saat aparat kepolisian menyambangi rumahnya di ibu kota Lima sambil membawa surat penahanan.
Tak lama setelah meninggalkan jabatan sebagai orang nomor satu di Peru, Garcia diserang tuduhan telah melakukan tindak korupsi dalam skandal dugaan suap di Odebrecht dan Petrobras, dua perusahaan asal Brazil senilai US$ 30 juta atau sekitar Rp 182 miliar.
Muncul pula dugaan sejumlah kontrak-kontrak kerja telah menguntungkan segelintir pihak, diantaranya menyuap politisi. Sejumlah mantan pejabat eksekutif Odebrecht saat ini bekerja sama dengan jaksa penuntut sebagai informan.
Baca: Tak Mau Ditahan, Mantan Presiden Peru Bunuh Diri
Garcia, 70 tahun, yang memiliki nama lengkap Alan García Pérez menjabat sebagai Presiden Peru selama dua periode, yakni pada 1985 - 1990 dan 2006 - 2011. García menuntaskan kuliahnya di Universitas Katolik Pontifical di Lima, Peru, dan Universitas Nasional di kota yang sama. Namun dia mengambil studi tambahan beberapa tahun di ibu kota Paris dan Madrid.
Dia kembali ke Peru pada 1976 untuk bergabung dengan Aliansi Revolusionari Amerika Populer atau APRA yang beraliran tengah-kiri. Di organisasi itu, karir politik García melesat didukung oleh gayanya yang kharismatik dan kepandaiannya berbicara di muka publik.
Dia lalu terpilih menjadi anggota kongres Peru pada 1980 dan menjadi ketua partai pada 1985, dimana pada tahun yang sama dia terpilih pula menjadi Presiden Peru. Saat menjabat pertama kali sebagai Presiden, García ketika itu baru berusia 36 tahun dan tercatat sebagai presiden termuda Peru. Dia pun dikenal dengan julukan JFK-nya Peru.
Namun kejayaan García sebagai pemimpin negara, dengan cepat berubah menjadi sebuah malapetaka. Keputusannya untuk menasionalisasi industri perbankan negara itu dan langkahnya menangguhkan pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo, malah membuat perekonomian Peru kacau-balau.
Ketika itu, inflasi Peru meroket hingga 7.500 persen dan terjadi kekurangan pasokan bahan-bahan pokok (sembako). Sekitar 5 juta warga Peru jatuh miskin. Kondisi diperparah dengan adanya pemberontakan oleh kelompok pemberontak Sendero Luminoso.
Baca: Terjerat Korupsi, Mantan Presiden Peru Bunuh Diri
García meninggalkan jabatannya dalam kondisi malu besar, dan diancam akan dijebloskan ke penjara untuk dakwaan korupsi. Dia lalu kabur ke Paris pada 1992.
Kendati berada di pengasingan, dukungan APRA terhadap García masih kuat. Pada 2001 setelah batas waktu tuntutan terhadapnya sudah tak berlaku lagi, dia pulang lagi ke Peru dan memimpin APRA. Secara mengejutkan, dia maju lagi menjadi dalam pencalonan Presiden Peru pada 2001, tetapi kalah dari Alejandro Toledo.
Meski kalah, kondisi ini tak membuat García mundur. Sebaliknya dia menggunakan waktu yang ada untuk menggalang dukungan dari kelompok-kelopok perempuan dan anak-anak muda Peru. Kerja kerasnya membuahkan hasil saat pada 2006, dia terpilih untuk kedua kalinya menjadi Presiden Peru dengan raihan 53 persen suara. Namun berdasarkan aturan Peru, maka García tak bisa lagi mencalonkan diri sebagai Presiden Peru pada pemilu 2011.
Kendati tak lagi menjabat menjadi orang nomor satu Peru, García masih aktif berpolitik. Hingga pada 2015, dia maju lagi dalam pencalonan presiden Peru. Namun kali ini, bintang politiknya sudah meredup. Dia kalah dan mendapat suara kurang dari 6 persen. Tak lama, dia pun dicopot dari keanggotaan APRA. Pada tahun itu, tuduhan korupsi terhadapnya kian deras.
García yang sudah punya izin sebagai penduduk tetap di Spanyol, dituduh telah menerima sejumlah keuntungan dari perusahaan raksasa bidang konstruksi Odebrecht saat dia menjabat sebagai presiden dalam periode ke dua. Pada 17 November 2018, dia sudah dilarang meninggalkan Peru selama 18 bulan ke depan.
Dia lalu meminta suaka ke Kedutaan Besar Uruguay di Peru, tetapi ditolak. Pada 17 April 2019, saat hendak diciduk polisi, García memilih bunuh diri di rumah pribadinya. Dia meninggalkan lima orang anak.
Britannica | Panji Moulana