TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Inggris Theresa May memimpin rapat kabinet hingga berjam-jam pada Selasa, 2 April 2019, dalam upaya mencari sebuah jalan keluar bagi Inggris dari Uni Eropa atau Brexit. May saat ini berada dalam tekanan apakah akan meninggalkan Uni Eropa tanpa sebuah kesepakatan atau melakukan pemilu.
“Dalam beberapa hari terakhir kami tidak membuat rencana atas kemungkinan tanpa kesepakatan (no-deal). Kita masih bisa berharap menghindari Brexit tanpa kesepakatan,” kata Kepala Negosiator Brexit untuk Uni Eropa, Michel Barnier, seperti dikutip dari reuters.com, Selasa, 2 April 2019.
Baca: DPR Inggris Bakal Bahas lagi Proposal Brexit 1 April
Para pengunjuk rasa membentangkan spanduk di Jembatan Westminster sebelum demonstrasi anti-Brexit, di London pusat, Inggris, Sabtu, 20 Oktober 2018. REUTERS/Simon Dawson
Menurut Barnier, Inggris masih bisa menerima negosiasi yang buntu mengingat itu adalah satu-satunya cara bagi Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa lewat jalan yang sepatutnya. Jika Perdana Menteri May tidak mendapat pengesahan dari parlemen untuk kesepakatan Brexit yang sudah disusunnya, maka May memiliki tiga pilihan, pertama angkat kaki Uni Eropa tanpa kesepakatan apa pun. Kedua menyerukan agar dilakukannya pemilu atau terakhir meminta perpanjangan waktu kepada Uni Eropa untuk negosiasi kesepakatan Brexit dengan lebih banyak pendekatan kepada Uni Eropa.
Baca: Kesepakatan Brexit Buntu, Perdana Menteri Inggris Makin Ditekan
“Saya berharap kami masih bisa menemukan sebuah solusi. Parlemen Inggris sendiri telah mengatakan tidak ingin mengacaukan Brexit,” kata Kanselir Jerman, Angela Merkel.
Inggris saat ini dihadapkan pada krisis politik yang berlangsung hampir tiga tahun sejak referendum Brexit dilakukan. Sampai 2 April 2019 masih belum jelas bagaimana cara sepatutnya Inggris bercerai dari Uni Eropa dan kapan waktu yang pasti untuk angkat kaki atau mungkinkah Inggris tidak akan pernah bisa meninggalkan Uni Eropa, sebuah organisasi terbesar di Benua Biru.
Inggris menjadi anggota Uni Eropa pada 1973 dan negara itu melakukan referendum untuk meninggalkan organisasi itu pada Juni 2016 atau yang populer disebut Brexit. Referendum dilakukan setelah Inggris menemukan banyak pertentangan pandangan dengan Uni Eropa. Namun proses perceraian ini nyatanya sungguh rumit, khususnya menyusun kesepakatan soal kerja sama ekonomi dan wilayah perbatasan.
Rumusan kesepakatan Brexit yang disusun oleh May sudah tiga kali ditolak oleh parlemen Inggris. Kabinet Inggris saat ini terbelah gara-gara Brexit dan tindakan Perdana Menteri May berisiko mencabik-cabik partainya, yakni Partai Konservatif.