TEMPO.CO, Caracas – Pejabat militer Venezuela yang bertugas di Amerika Serikat membelot dari pemerintahan Presiden Nicolas Maduro pada Sabtu, 26 Januari 2019 waktu setempat.
Baca:
Isu Kudeta Venezuela, Nicolas Maduro Mau Berbaikan dengan AS
Ini terjadi setelah Maduro memerintahkan pemutusan hubungan diplomatik dengan AS dan mengusir para diplomat negara itu. Maduro melakukan ini karena AS mendukung upaya kelompok oposisi yang dipimpin Juan Guaido untuk menurunkannya.
“Hari ini saya bicara kepada rakyat Venezuela, terutama kepada saudara saya di angkatan bersenjata, untuk mengakui Presiden Juan Guaido sebagai satu-satunya Presiden yang memiliki legitimasi,” kata Kolonel Jose Luis Silva dalam pernyataan yang direkam lewat video di Kedubes Venezuela di Washington DC seperti dilansir Reuters pada Sabtu, 26 Januari 2019.
Baca: Bank Sentral Inggris Menolak Penarikan Emas Pemerintah Venezuela
Silva mengatakan kepada Reuters satu orang pejabat konsuler di Houston dan di sebuah kota lain di AS yang juga mengakui Guaido, yang menobatkan diri sebagai Presiden interim pada Rabu, 23 Januari 2019. Guaido mendesak agar Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, yang baru dilantik pada 10 Januari 2019 untuk masa jabatan kedua selama enam tahun, segera mundur.
“Pimpinan militer dan eksekutif menyandera angkatan bersenjata. Ada banyak yang merasa tidak puas,” kata Silva.”Pesan saya kepada angkatan bersenjata adalah ‘Jangan menyakiti rakyat.’ Kita diberi senjata untuk membela kedaulatan negara. Senjata tidak digunakan untuk menyerang rakyatmu sendiri, untuk membela pemerintahan sekarang yang berkuasa.”
Baca: Kronologi Krisis Venezuela dan Manuver Oposisi Hadapi Maduro
Reuters melansir ada beberapa pemberontakan kecil di angkatan bersenjata untuk melawan Maduro. Namun, tidak ada perlawanan besar-besaran militer terhadap pemerintah.
Guaido menyambut pesan Silva lewat cuitan di Twitter dan meminta pejabat militer lain untuk mengikuti langkah ini. Dia mengatakan masyarakat agar terus berjuang untuk demokrasi dan kebebasan.
Seguimos avanzando, hoy las voces de este pueblo fueron escuchadas por el mundo que al igual que nosotros, creen y luchan por la libertad y la democracia.
IklanScroll Untuk Melanjutkan¡Gracias a todas las naciones que reconocen la crisis que estamos viviendo y su compromiso porque la superemos! 3/3#ONU pic.twitter.com/y9jf3hUTym
— Juan Guaidó (@jguaido) January 26, 2019
Sebaliknya, Menteri Pertahanan Venezuela menyebut Silva sebagai seorang pengecut dan mengunggah foto Silva dengan tulisan pengkhianat menggunakan huruf warna merah.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Garrett Marquis, menyebut pembelotan itu sebagai contoh prinsip. “Peran militer adalah melindungi konstitusi bukan untuk mendukung dikator dan menekan rakyatnya sendiri. Dukung yang lain untuk melakukan hal sama,” kata Marquis.
Baca:
Tenggat 72 jam yang diumumkan Maduro agar semua personil kedutaan AS meninggalkan Caracas berakhir pada Sabtu, 26 Januari 2019. Beberapa pejabat kedubes AS meninggalkan Caracas pada Jumat, 26 Januari 2019.
Belakangan Maduro melunakkan tuntutannya ke AS. Kedua negara bakal membuat kesepakatan untuk menempatkan kantor urusan kepentingan di masing-masing ibu kota untuk menggantikan peran kedutaan besar.
“Kami akan mempertahankan kantor urusan kepentingan dengan minimal staf dan kantor perwakilan yang bertugas di Kuba. Ini diplomasi yang sebenarnya,” kata Maduro dalam siaran televisi langsung.
Seperti dilansir Express, sekitar 25 orang tentara level bawah di Venezuela menyerang pos penjagaan di dekat kompleks istana kepresidenan pada Senin, 21 Januari 2019. Ini memicu perlawanan publik dengan unjuk rasa besar-besaran dua hari kemudian dan memunculkan Juan Guaido, yang merupakan Presiden Majelis Nasional, sebagai pimpinan oposisi. Guaido menobatkan dirinya sebagai Presiden interim menggantikan Maduro hingga terlaksananya pemilu sesegera mungkin.