TEMPO.CO, Jakarta - Kebakaran dan penembakan terjadi di tempat tinggal etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar ketika pemerintah Myanmar dan Bangladesh tengah mempersiapkan pemulangan para pengungsi Muslim Rohingya.
"Api besar telah terlihat sejak tadi malam, di Tombru, sebuah desa yang ditinggalkan di perbatasan dengan distrik Cox's Bazar, " kata penjaga perbatasan Bangladesh yang menolak untuk mengungkapkan identitasnya. Kebakaran terjadi pada Senin malam, 22 Januari 2018.
Baca: Rohingya Tolak Ikut Verifikasi untuk Pulang ke Myanmar
"Api diyakini melahap pemukiman milik etnis Rohingya, perbatasan wilayah tersebut dikuasai oleh pasukan Myanmar," katanya, seperti yang dilansir Khmer Times pada 24 Januari 2018.
Petugas lain di perbatasan mengatakan bahwa dia mendengar beberapa tembakan, sebelum kebakaran terlihat dari desa Tombru.
Hampir 690.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Rakhine ke perbatasan Bangladesh sejak Agustus 2017 setelah militer Myanmar menggelar operasi militer melawan pemberontak Rohingya.
Baca: Militan Rohingya Tuding Repatriasi Pengungsi Hanya Jebakan
Rekaman kebakaran itu dengan cepat menyebar di antara pengungsi Rohingya di Bangladesh melalui media sosial. Banyak orang menyalahkan pasukan keamanan Myanmar.
"Api dirancang untuk menghancurkan sisa-sisa rumah Rohingya yang tersisa sehingga kita tidak bisa kembali ke desa kita," kata Rafique bin Habib, seorang aktivis dari minoritas Muslim yang teraniaya.
Dia mengatakan tanpa rumah, orang Rohingya yang kembali di bawah kesepakatan repatriasi yang kontraversial tersebut akan ditolak aksesnya ke tanah leluhur mereka dan dipaksa tinggal di kamp-kamp pengungsian.
Baca: Milisi Rohingya: Tak Ada Pilihan Selain Melawan Militer Myanmar
Mengenai pemulangan pengungsi Rohingya, kelompok hak asasi manusia dan PBB menyarankan pemulangan harus bersifat sukarela.
Namun pengungsi Rohingya bersatu untuk menolak pemulangan mereka ke Rakhine karena takut penganiayaan akan berulang.
Abul Naser, pengungsi Rohingya berusia 42 tahun, berujar: "Mereka mencoba mengirim pesan kepada kami, mereka mencoba menakut-nakuti kami sehingga kami tidak pernah kembali."