Pavel Durov vs Mark Zuckerberg: Beda Sikap dalam Penyensoran Konten
Editor
Ida Rosdalina
Rabu, 28 Agustus 2024 19:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Tak lama setelah Pavel Durov, CEO Telegram, ditangkap di Prancis, CEO Meta Platforms, Mark Zuckerberg, menyatakan Pemerintahan Presiden Joe Biden telah menekan perusahaannya untuk menyensor konten Covid-19 selama pandemi.
Dalam sebuah surat tertanggal 26 Agustus, Zuckerberg mengatakan kepada komite kehakiman Dewan Perwakilan Rakyat AS bahwa ia menyesal tidak berbicara tentang tekanan ini lebih awal, serta beberapa keputusan yang telah diambil oleh pemilik Facebook, Instagram, dan WhatsApp untuk menghapus konten tertentu.
Tapi tentu saja, beda kasus antara Durov dan Zuckerberg. Tidak seperti Durov, CEO Meta telah mengakui bahwa perusahaannya memilih untuk memenuhi permintaan pemerintah AS untuk menyensor konten. Sementara pendiri Telegram, Durov, menunggu untuk didakwa secara resmi oleh jaksa penuntut Prancis atas berbagai dakwaan yang berkaitan dengan kurangnya moderasi pada platform tersebut, nasib serupa tidak akan menimpa Zuckerberg.
Elon Musk dengan cepat menyatakan bahwa tidak akan ada penangkapan untuk Zuck karena dia "menyensor kebebasan berbicara dan memberikan pemerintah akses pintu belakang ke data pengguna."'
Berikut, bagaimana kedua platform dan CEO mereka dalam menyikapi penyensoran dan kebebasan berbicara:
Pavel Durov
Pengusaha TI kelahiran Rusia ini menciptakan Telegram - perpaduan antara perpesanan pribadi dan saluran publik - bersama saudaranya pada Agustus 2013. Durov bersumpah untuk memperjuangkan enkripsi dalam pengiriman pesan, tidak mengizinkan moderasi pesan, menolak permintaan untuk menyimpan catatan data rahasia, pesan telepon, dan lalu lintas internet klien, atau menyerahkan kunci untuk mendekripsi korespondensi pengguna berdasarkan permintaan.
"Telegram secara historis memiliki masalah dengan regulator di beberapa bagian dunia karena, tidak seperti layanan lain, kami secara konsisten mempertahankan privasi pengguna kami dan tidak pernah membuat kesepakatan dengan pemerintah," tulis Durov pada 2017.
"Kanal" Telegram yang berukuran tidak terbatas dan obrolan grup dienkripsi dengan menggunakan kombinasi enkripsi AES simetris 256-bit, enkripsi RSA 2048-bit, dan kunci aman Diffie-Hellman, menurut tim Telegram. Telegram tidak menyediakan enkripsi end-to-end untuk obrolan pribadi dan grup yang umum, tetapi menyediakan fitur obrolan rahasia.
Telegram memungkinkan pengguna mengirim berkas dengan menikmati penyimpanan awan tanpa batas. Tidak ada iklan yang ditargetkan atau umpan algoritmik. Jumlah pengguna platform ini melebihi 950 juta pengguna pada Juli 2024.
Pemerintah AS ingin mendapatkan kode Telegram untuk menyusup ke dalam sistem dan memata-matai para penggunanya, Durov mengungkapkan dalam sebuah wawancara pada April dengan mantan pembawa berita Fox News, Tucker Carlson. Pengusaha ini menolak tekanan untuk mengizinkan "pintu belakang" dalam aplikasi untuk intelijen Barat. Durov menolak "tekanan" pribadi di AS, di mana pejabat penegak hukum mendekatinya, berusaha untuk "menjalin hubungan untuk mengontrol Telegram dengan lebih baik."
"[Tetapi] bagi kami yang menjalankan platform media sosial yang berfokus pada privasi, itu mungkin bukan lingkungan terbaik untuk berada di dalamnya. Kami ingin fokus pada apa yang kami lakukan, bukan pada hubungan dengan pemerintah," kata Durov.
Saat banyak pihak yang mengkritiknya karena mengizinkan Hamas menggunakan platformnya untuk menyiarkan konten-konten mereka, Durov memberi alasan. Menurutnya, kebijakan moderasi longgar platform ini telah memberikan informasi berharga tentang perang Israel-Hamas dan kecil kemungkinannya untuk menyebarkan konten berbahaya dibandingkan dengan kompetitor karena pengguna harus memilih untuk masuk ke dalam kanal-kanal.
"Dengan demikian, kecil kemungkinan saluran Telegram dapat digunakan untuk memperkuat propaganda secara signifikan," kata Durov dalam sebuah posting di Telegram awal November tahun lalu, dan menambahkan bahwa moderator menghapus jutaan konten berbahaya setiap hari.
"Sebaliknya, mereka berfungsi sebagai sumber informasi tangan pertama yang unik bagi para peneliti, jurnalis, dan pemeriksa fakta. Meskipun mudah bagi kami untuk menghancurkan sumber informasi ini, hal itu berisiko memperburuk situasi yang sudah mengerikan,” katanya seperti dikutip Al Jazeera.
Sikap ini akhirnya mengganjarnya dengan penangkapan oleh polisi Prancis, sebuah tindakan yang dikritik banyak pihak sebagai pembungkaman atas kebebasan berbicara.
<!--more-->
Mark Zuckerberg
Zuckerberg mengubah Meta (sebelumnya Facebook) menjadi alat untuk menyensor AS. Platform dengan standar enkripsi end-to-end (e2e) untuk aplikasi perpesanan dan algoritma non-open source ini telah menyajikan berbagai kasus penyensoran dan manipulasi opini publik yang didokumentasikan oleh para pelapor dan pembocor informasi.
Setelah pemilihan umum Amerika Serikat 2016, sudut pandang konservatif ditekan dengan dalih "ujaran kebencian" sementara sudut pandang liberal diangkat.
Pada 2018, terungkap bahwa perusahaan konsultan politik yang berbasis di Inggris, Cambridge Analytica, terlibat dalam pengambilan puluhan juta profil Facebook pada 2014. Data ini digunakan untuk menargetkan pengguna dengan iklan politik yang dipersonalisasi, termasuk selama kampanye presiden AS 2016, perusahaan ini terlibat dalam operasi pengumpulan data dan manipulasi suara yang serupa di berbagai negara di seluruh dunia.
Postingan yang mengkritik segala sesuatu mulai dari kebijakan luar negeri dan imigrasi AS, kebijakan iklim, hingga vaksin terkadang dihapus secara langsung, tetapi lebih sering disembunyikan atau direndahkan.
Laporan Human Right Watch di situs resminya, pada 20 Desember 2023, menyebut kebijakan dan praktik Meta telah membungkam suara-suara yang mendukung Palestina dan hak asasi manusia Palestina di Instagram dan Facebook dalam gelombang penyensoran media sosial yang semakin meningkat di tengah permusuhan antara pasukan Israel dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina yang dimulai pada 7 Oktober 2023.
Antara Oktober dan November 2023, Human Rights Watch mendokumentasikan lebih dari 1.050 penghapusan dan pemberangusan konten Instagram dan Facebook yang telah diunggah oleh warga Palestina dan para pendukungnya, termasuk mengenai pelanggaran hak asasi manusia. Human Rights Watch secara terbuka meminta kasus-kasus penyensoran online dan segala jenis sudut pandang yang berkaitan dengan Israel dan Palestina.
Dari 1.050 kasus yang ditinjau untuk laporan ini, 1.049 kasus melibatkan konten damai yang mendukung Palestina yang disensor atau diberangus secara berlebihan, sementara satu kasus melibatkan penghapusan konten yang mendukung Israel.
Konten-konten itu berasal dari lebih 60 negara di seluruh dunia, terutama dalam Bahasa Inggris, yang semuanya dukungan damai untuk Palestina. Angka tersebut belum mencerminkan distribusi penyensoran secara keseluruhan. Ratusan orang terus melaporkan penyensoran setelah Human Rights Watch menyelesaikan analisisnya untuk laporan tersebut. Itu berarti jumlah total kasus yang diterima Human Rights Watch jauh melebihi 1.050.
SPUTNIK | REUTERS | AL JAZEERA | HUMAN RIGHT WATCH
Pilihan Editor: Penangkapan Bos Telegram Pavel Durov Bikin Hubungan Rusia Prancis ke Titik Terendah