Ebrahim Raisi: Garis keras dalam Moralitas, Unjuk Rasa, dan Perundingan Nuklir
Reporter
Tempo.co
Editor
Ida Rosdalina
Senin, 20 Mei 2024 09:50 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Iran Ebrahim Raisi, yang helikopternya jatuh di daerah pegunungan pada Minggu, 19 Mei 2024, telah menjadi pesaing untuk menjadi pemimpin tertinggi Iran berikutnya. Ia dikenal dengan tindakan keras dan berdarah terhadap masalah moralitas dan protes nasional.
Raisi menang dalam pemilu pada 2021, setelah pesaingnya yang berhaluan konservatif dan moderat didiskualifikasi oleh badan pengawas garis keras. Kemenangannya membuat semua cabang kekuasaan berada di bawah kendali kelompok garis keras yang setia kepada Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei. Mentor Raisi yang berusia 85 tahun ini memiliki keputusan akhir atas semua kebijakan utama.
Kesepakatan Nuklir
Raisi, 63 tahun, mengambil sikap keras dalam negosiasi yang kini sedang buntu dengan enam negara besar untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015. Kesepakatan ini penting untuk mendapatkan keringanan yang luas dari sanksi-sanksi AS sebagai imbalan atas pembatasan yang tidak terlalu ketat terhadap program nuklir Iran yang semakin maju.
Pada 2018, presiden AS saat itu, Donald Trump, mengingkari kesepakatan yang telah dicapai Teheran dengan enam negara dan memulihkan sanksi AS yang keras terhadap Iran. Tindakan sepihak Trump ini mendorong Teheran untuk secara progresif melanggar batas-batas nuklir dalam perjanjian tersebut.
Pembicaraan tidak langsung antara pemerintahan Presiden AS Joe Biden dan Teheran untuk menghidupkan kembali pakta tersebut telah terhenti.
Meskipun seorang pemula dalam dunia politik, Raisi mendapat dukungan penuh untuk sikap nuklir dan tindakan keras keamanan dari pelindungnya, Khamenei yang sangat anti-Barat.
Unjuk Rasa
Posisi garis keras Raisi juga terlihat jelas dalam politik dalam negeri. Setahun setelah pemilihannya, ulama berpangkat menengah ini memerintahkan pihak berwenang untuk memperketat penegakan "hukum hijab dan kesucian" Iran yang membatasi cara berpakaian dan perilaku perempuan.
Dalam beberapa minggu, seorang wanita muda Kurdi Iran, Mahsa Amini, meninggal dalam tahanan setelah ditangkap oleh polisi moralitas karena diduga melanggar hukum tersebut.
Protes nasional yang berlangsung selama berbulan-bulan ini merupakan salah satu tantangan terberat bagi para penguasa ulama Iran sejak Revolusi Islam 1979.
Ratusan orang tewas, menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia, termasuk puluhan petugas keamanan yang menjadi bagian dari tindakan keras terhadap para demonstran. "Tindakan kekacauan tidak dapat diterima," tegas presiden.
Protes yang meluas terhadap kekuasaan ulama dan kegagalan untuk membalikkan krisis ekonomi Iran, karena sanksi Barat dan salah urus, mengurangi popularitasnya di dalam negeri.