Amnesty: Ratusan Anak Thailand Berpotensi Dipenjara karena Ikut Gerakan Protes
Editor
Ida Rosdalina
Rabu, 8 Februari 2023 17:24 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Para terdakwa yang masih kanak-kanak saat dugaan pelanggarannya menghadapi tuntutan pidana, banyak di antaranya terkait dengan gerakan protes 2020-2021.
Seorang anak berusia 14 tahun didakwa menghina raja. Anak lain berusia 13 tahun ditarik secara fisik dari sebuah restoran oleh petugas polisi. Sementara itu anak berusia 17 tahun ditembak peluru karet dan dipukuli.
Ini adalah beberapa cerita yang terungkap dalam sebuah laporan terbaru dari Amnesty International, yang mendokumentasikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia terkait anak-anak yang ikut serta dalam protes panjang Thailand dan dirilis pada Rabu, 8 Februari 2023.
Sainam, yang sebelumnya ditembak dengan peluru karet, adalah peserta tetap protes pro-demokrasi, tetapi pemuda berusia 17 tahun itu berencana untuk melewatkan demonstrasi pada hari penangkapannya pada 2021. Kemudian ia melihat temannya terluka.
“Saya melihat teman saya tertembak di berita-berita, jadi saya pergi ke sana untuk melihat teman saya, dan ketika saya tiba di sana, suasananya kacau, dan polisi berlari dan berusaha menangkap siapa pun yang ada di sana,” kata Sainam kepada Al Jazeera.
“Jadi, saya lari dan mereka menembak saya di kaki tetapi saya terus lari sehingga mereka menembak saya di punggung dan mereka melempar saya ke tanah dan memukuli dengan alat pemukul dan perisai antihuru-hara”
Dalam hampir 300 kasus, terdakwa yang masih anak-anak pada saat dugaan pelanggarannya menghadapi tuntutan pidana, banyak di antaranya terkait dengan gerakan protes 2020-2021. Amnesty mengatakan proses tersebut melanggar kebebasan berekspresi mereka, menghancurkan keluarga dan membahayakan masa depan.
“Sebagian besar dari mereka berpotensi dipenjara,” kata Chanatip Tatiyakaroonwong, peneliti regional di Amnesty. Ia mengatakan mayoritas kasus yang terdokumentasi, sekitar 200, telah dibuka berdasarkan Keputusan Darurat yang diberlakukan antara Maret 2020 dan Oktober 2022 untuk menghentikan penyebaran Covid-19.
“Selama dua tahun terakhir ada penggunaan yang meluas pembatasan Covid sebagai senjata untuk mengekang kemampuan orang untuk protes,” kata Chanatip.
<!--more-->Tuntutan Kriminal
Gerakan protes, yang menuntut demokratisasi yang lebih besar, juga melanggar tabu nasional dengan secara terbuka menuntut reformasi terhadap monarki, termasuk menghapuskan Pasal 112, yang menjadikan pencemaran nama baik, penghinaan atau pengancaman keluarga kerajaan sebagai kejahatan. Pada November 2021, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa bahkan seruan untuk reformasi termasuk sebuah upaya untuk menggulingkan kerajaan.
Amnesty mengatakan dari anak-anak yang menghadapi tuntutan pidana, 17 orang didakwa dengan lese majeste berdasarkan Pasal 112, yang membawa hukuman penjara antara tiga dan 15 tahun.
Bahkan jika anak-anak itu tidak didakwa, Chanatip mengatakan proses panjang persidangan telah merampas masa depan anak-anak.
Wannaphat Jenroumjit, seorang pengacara yang bertugas di Thailand utara untuk Thai Lawyers for Human Rights, mengatakan organisasinya telah mendokumentasikan sejumlah kasus anak-anak menderita “kekerasan fisik” selama penahanan mereka.
“Contohnya, anak-anak itu ditendang di bagian tubuh ketika ditahan, dikeroyok hingga orang itu jatuh dan kemudian dipukuli, dengan menggunakan sebuah tongkat berulang-ulang dipukul atau diinjak-injak, menggunakan peluru karet,” katanya, sambil menambahkan, “ benar-benar bertentangan dengan hukum Thai dan prinsip internasional.”
Wannaphat mengatakan sementara Thailand telah “mengadopsi prinsip-prinsip internasional” dalam melindungi anak-anak, ada pengecualian luas terhadap undang-undang yang mengizinkan “pejabat untuk menggunakan banyak keleluasaan”.
“Amnesty tidak berkomentar apakah anak-anak atau para pemrotes melanggar undang-undang,” kata Chanatip. “Sikap kami adalah bahwa hukum ini sendiri tidak sesuai dengan standar internasional. Mereka ada untuk menargetkan hak orang dalam kebebasan berbicara dan berkumpul secara damai.”
Menanggapi laporan tersebut, Kementerian Kehakiman Thailand mengatakan kepada Amnesty International “kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkumpul… adalah hak fundamental bagi masyarakat demokratis” dan dijamin oleh Konstitusi 2017, yang diundangkan di bawah kekuasaan militer. Pernyataan itu mengatakan persidangan terhadap pengunjuk rasa anak tidak dimaksudkan untuk "membatasi hak dan kebebasan atau ... menargetkan para pembangkang".
AL JAZEERA
Pilihan Editor: Suriah, Negeri yang Terkoyak Perang Saudara, Wabah Kolera dan Gempa Bumi