TEMPO.CO, Yerusalem- Di Beit' Anan, perkampungan Arab di Tepi Barat, Palestina, Haya Dawod dan keluarga angkatnya duduk mengelilingi meja di ruang makan untuk menyantap hidangan perayaan Idul Fitri, Senin, 28 Juli 2014.
Hari itu merupakan hari pertama Idul Fitri, hari raya bagi muslim setelah menjalani puasa Ramadan selama sebulan penuh. Idul Fitri biasanya dirayakan selama tiga hari di negeri ini. (Baca:Muslim Palestina Salat Idul Fitri di Gereja )
Namun suasana hari raya di Palestina tak berlangsung meriah. Hidangan makanan keluarga Dawod menunjukkan suasana muram. Hidangan kali ini sederhana, hanya daging kambing panggang, maamoul (hidangan pencuci mulut yang renyah dan manis dengan isian madu dan kacang), serta fawakih (buah-buahan seperti apel, anggur, dan mangga dalam satu piring besar).
"Biasanya kami memiliki hidangan yang lebih banyak," kata Dawod, 21 tahun. "Dan ada lebih banyak musik dan permainan. Tapi karena apa yang terjadi di Gaza, kegembiraan berkurang," tuturnya.
Akhir-akhir ini, media televisi ramai menyiarkan situasi di Gaza. Satu tayangan di televisi memberitakan kematian sedikitnya delapan anak sebagai korban pengeboman Rumah Sakit Al'Shifa di Gaza.(Baca:Palestina Adukan Israel ke Mahkamah Internasional)
"Idul Fitri bukan hari yang fitri karena situasi di Gaza," kata Maher Abu Mayaleh, seorang penjaga toko di kawasan niaga Arab, di permukiman muslim di Kota Tua Yerusalem. "Kami tak gembira. Kami tak ingin merayakan apa pun. Orang-orang kami meninggal," ujarnya.
Menurut tradisi, Idul Fitri adalah saatnya orang-orang berbelanja baju baru serta membeli daging terbaik, makanan manis, dan sayuran untuk santapan selama hari raya. Keluarga akan pergi mengunjungi paman, sepupu, dan saudara kandung.
Tapi pada Idul Fitri tahun ini tak ada yang berbau manis. Orang-orang meminum kopi tanpa gula sebagai tanda berduka dalam adat Palestina. Tak ada baju baru. Orang-orang malah bersedekah untuk Gaza. Bukannya berlibur, warga malah berdiam di rumah, terpaku pada siaran televisi. Keluarga adalah hal yang amat penting selama Idul Fitri dan suasana yang muram juga mempengaruhi remaja dan anak-anak. (Baca:PBB: Dalam Satu Jam, Satu Anak Gaza Tewas )
Tapi masih ada harapan untuk kedamaian dan ketenangan. "Saya melihat pemandangan orang-orang membuat kue kering, maamoul, di Gaza dan saya berpikir, 'Wow, orang-orang ini sangat kuat.' Mereka memberi saya harapan," kata Abu.
HUFFINGTON POST | DINI PRAMITA
Baca juga:
JK Dinilai Berpeluang Rebut Posisi Bos Golkar
Pemred Liputan 6 Selidiki Pemalsu Situsnya
Prabowo Batal Open House di Kertanegara
Chairul Tanjung: Freeport Hanya Tinggal Ekspor