TEMPO.CO, Teheran - Tak diketahui persis jumlahnya, tapi tergolong minoritas non-muslim terbesar di Iran. Mereka adalah kaum Bahai, agama terlarang di Iran sejak Revolusi 1979. Umatnya pun tidak boleh menempuh pendidikan di universitas sehingga terpaksa belajar secara rahasia di rumah-rumah bawah tanah milik umat Bahai.
Salah seorang yang mengalami nasib pelarangan sekolah itu bernama Shirin.
"Saya teringat ketika bapak saya menunjukkan luka-luka di bagian kepalanya akibat dipukuli teman-temannya ketika dalam perjalanan ke sekolah," kata Shirin.
"Tentu saja saya tidak menceritakan pengalaman yang sama seperti dialami ayah saya ketika saya masih kecil di Iran pada 1980-an. Saya tahu beliau selalu berdoa dan berharap dunia akan menjadi lebih baik," ujarnya.
Namun faktanya tidak demikian. Penindasan terhadap kaum Bahai justru kian meningkat menyusul Revolusi Islam pada 1979.
Sejak munculnya Imam Bahai pada pertengahan abad ke-19, Bahai digolongkan sebagai aliran sesat oleh Shah Iran karena mereka menolak kepercayaan umat Islam bahwa Muhammad adalah nabi terakhir. Mereka disebut sebagai kaum yang murtad dan tidak bersih.
Bagi Shirin dan umat Bahai lain, problem besar muncul ketika mereka menyelesaikan sekolah. Sebagai kaum Bahai, mereka tidak diperkenankan masuk ke universitas.
Opsinya hanya satu, yakni secara diam-diam mengikuti kelas universitas Bahai bawah tanah, Bahai Institute for Higher Education (BIHE), yang berdiri pada pertengahan 1980-an.
Lembaga pendidikan ini didirikan sejumlah dosen Bahai dan mahasiswa yang terlempar keluar dari universitas di Iran setelah revolusi.
Shirin terdaftar di BIHE pada 1994. Pada saat itu, hanya ada dua jurusan yang tersedia, yaitu bidang sains dan studi perbandingan agama.
Para dosen mengajar di rumah-rumah yang disulap menjadi kelas. Masa belajar di sini selama enam tahun. Tidak ada gelar MA atau Ph.D.
Segera setelah itu, gelombang penyerbuan terhadap kaum intelektual Bahai dimulai, terjadi penutupan kelas dan penangkapan terhadap para pengajar BIHE. Kejadian itu membuat dunia Shirin kian tertutup.
Tak lama kemudian, dia mendengar ada peluang ke Inggris sebagai pekerja. Dia langsung melompat ke negeri harapan.
"Saya melamar tanpa buang waktu, tak peduli apa jenis visa saya, yang penting saya harus pergi," kata Shirin.
Shirin tiba di Inggris pada 2003. Dia bekerja serabutan, termasuk bekerja petang hari di sebuah kedai makan Italia di Scarborough.
Pada satu pagi buta dan berkabut di Inggris, dia berjalan kaki melintas di depan pintu Universitas Birmingham. Di tempat itu, dia mengatakan bahwa dirinya seorang sarjana dari sebuah universitas bawah tanah di Teheran.
Sepekan kemudian, dia mendapatkan kabar mengejutkan bahwa dia diterima di universitas itu. "Ini lebih dari sebuah keajaiban, di luar harapan dan mimpi saya," ucapnya. "Hingga saat ini, saya merasa inilah hadiah terbaik yang saya terima tanpa mengorbankan iman saya."
Shirin menyelesaikan studinya pada 2006. Setelah itu, dia meninggalkan Inggris untuk bergabung bersama saudara-saudaranya di Amerika Serikat. Negeri itu menjadi tempat keluarga dan teman-temannya seiman berkumpul selama bertahun-tahun.
Amerika Serikat adalah rumah terbesar bagi penganut Bahai di dunia. Agama ini mulai dikenalkan pada 1912 oleh Abdul Baha, putra pendiri Bahai, Baha'ullah, yang menghabiskan 11 bulan menyebarkan agama tersebut di Amerika Serikat.
BBC | CHOIRUL AMINUDDIN