TEMPO.CO, New York – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mendesak Perserikatan Bangsa-bangsa untuk berubah sesuai dengan tantangan dan tuntuan zaman. Desakan itu disampaikan Setya Novanto dalam pidatonya pada Pertemuan Keempat para Ketua Parlemen Dunia (4th World Conference of Speakers of Parliament), di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Senin, 31 Agustus 2015.
“Saat ini adalah momentum untuk melakukan evaluasi tata kelola organisasi PBB menuju perdamaian demi tercapainya pembangunan berkelanjutan,” kata Ketua DPR-RI di hadapan delegasi dari 140 Ketua Parlemen di dunia itu, seperti dilansir dalam rilis Perwakilan Tetap RI (PTRI) New York yang diterima Tempo, Selasa, 1 September 2015.
Setya menambahkan demokrasi dalam tatanan dunia yang setara, baik di antara negara berkembang dan maju menjadi prasyarat tercapainya pencapaian perdamaian, kesejahteraan dan khususnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals).
Ketua DPR RI mengkritik PBB yang telah berusia menjelang ke-70 tahun, tapi belum bisa memenuhi ekspektasi semua pihak untuk membawa perdamaian di dunia. “Situasi dunia masih jauh dari cita-cita kemakmuran bangsa-bangsa dan perdamaian belum tercapai, konflik masih merajalela, serta penindasan yang terus berlangsung,” kata dia.
Lebih jauh, Setya Novanto juga menyatakan demokrasi harus diterapkan tidak hanya di negara-negara tetapi juga di dalam PBB sendiri. Dia menilai organisasi dunia itu belum menerapkan demokrasi sebagai bagian dari tradisi. Ketidakdemokratisan PBB, menurutnya terlihat dari posisi negara-negara anggota yang tidak berdiri sama rendah dan berdiri sama tinggi.
Karenanya, kata dia, PBB harus melakukan evaluasi sistemik dengan reformasi yang konkret untuk meninjau ulang tata kelola organisasinya sehingga semua negara setara.
Kritik keras Ketua DPR RI itu memberi warna dalam perdebatan para Ketua Parlemen Sedunia di Markas PBB tersebut. Pertemuan ini ingin menekankankan pentingnya peran parlemen pada pembangunan demokrasi, perdamaian, dan kesejahteraan rakyat, khususnya dalam kerangka agenda global pada tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan.
Forum Ketua Parlemen dibuka dengan sambutan dari Presiden Inter Parliamentary Union. Saber Chowdhury, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan Presiden Sidang Majelis Umum PBB ke-69, Sam K. Kutesa, serta penyampaian pidato kunci dari Mr. Forest Whitaker, seniman, humanis, dan Utusan Khusus UNESCO untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi.
Terdapat benang merah dalam sambutan para tokoh tersebut, bahwa tanpa kemitraan dan komitmen di antara parlemen, pemerintah dan rakyat, maka pencapaian tujuan-tujuan pembangunan hanyalah rencana indah namun sulit diwujudkan.
NATALIA SANTI