TEMPO.CO, Istanbul - Partai pemerintah yang sedang berkuasa di Turki berhasil merebut banyak kursi parlemen tapi gagal menjadi mayoritas. Tabulasi 98 persen hasil pemilu parlemen pada Ahad, 7 Juni 2015, menunjukkan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) tidak bisa memerintah tanpa berkoalisi dengan partai lain.
Partai pengusung Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan itu mendapat 41 persen suara atau 259 dari total 550 kursi parlemen. "AKP kembali menjadi pemenang pemilu, tidak ada keraguan akan hal itu. Keputusan rakyat kita sudah final, di atas segalanya, dan kita akan bertindak sesuai dengan itu," kata Ahmet Davutoglu, Ketua AKP yang juga Perdana Menteri Turki, seperti dilansir The Guardian, Senin, 8 Juni 2015.
Pemilu parlemen ini sebelumnya digadang-gadang bakal membawa perubahan drastis di Turki lantaran menjadi penentu berlanjut atau tidaknya dominasi AKP. Sejak AKP berkuasa pada 2002, partai sosialis konservatif ini untuk pertama kalinya harus berkoalisi. Ini bukan hal yang mudah, karena dua partai oposisi sejak kampanye telah berjanji tidak bergabung dalam koalisi. Meski demikian, politik di negara tersebut tidak dapat diprediksi.
Pada pemilu ini, AKP sebenarnya mengincar 330 kursi. Dengan begitu, mereka bisa menggelar referendum nasional--tanpa perlu minta persetujuan partai lain--untuk mengubah konstitusi. Mereka ingin mengganti sistem parlementer menjadi presidensial, sehingga kekuasaan Erdogan bisa diperpanjang. Padahal Erdogan kini makin tidak populer.
Dia dianggap cenderung otoktratis, korup, dan boros. Salah satu indikasinya adalah pembangunan istana dengan lebih dari seribu kamar di lahan terlindung. Erdogan pun dipandang gagal melindungi hak asasi manusia dan hak perempuan, mengekang kebebasan berpendapat, serta mengubah identitas sekuler Turki.
Baca Juga:
CNN | THE GUARDIAN | ATMI PERTIWI