TEMPO.CO, Jakarta -Wartawan Tempo Goenawan Muhamad menuliskan hasil liputannya dari Singapura pada tahun 1973. Ia bertemu Perdana Menteri Singapura pertama Lee Kuan Yew di kantornya. Beberapa isu utama dari Singapura dimuat di majalah Tempo edisi 26 Mei 1973. Untuk mengenang Lee Kuan Yew yang meninggal dini hari tadi, 23 Maret 2015, Tempo menurunkan hasil liputan 42 tahun lalu.
Prestasi Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew dan timnya, begitu Goenawan menuliskan, adalah sesuatu yang impresif. Mereka tak merusak dasar-dasar yang ada dengan mencoba mengadakan perubahan yang nampaknya radikal tapi tak sesuai dengan kemampuan, misalnya dengan nasionalisasi. Tapi lebih dari itu, orang luar selalu terkesan akan bersihnya administrasi Lee dari korupsi.
Gunnar Myrdal tak akan menamakan Singapura sebagai "negara lunak" seperti pemerintah-pemerintah lain di Asia. Lee memang keras membungkam oposisi dan kritik, tapi ia juga keras menyumbat lobang untuk penyelewengan orang-orang bawahannya, sebagaimana ia juga. Jelas pada diri Lee Kuan Yew sendiri: hidupnya sekeluarga tak diwarnai kegemaran akan kekayaan.
Didirikannya Biro Penyelidikan Tindakan Korup (CPIB). "Direktur CPIB bekerja langsung di bawah saya", katanya. "Tak seorangpun, bahkan tak juga menteri yang paling senior pun, bebas dari penyelidikan. CPIB bekerja sama dengan Departemen Pendapatan Dalam Negeri, yang memelihara jaringan yang mendalam untuk menemukan semua milik dan sumber-sumber pendapatan". Dan hukuman buat korupsi "berat", kata Lee pula.
Kecilnya ukuran Singapura memang menguntungkan usaha pencegahan korupsi itu "Masyarakat kami yang kecil dan kompak mempermudah terpeliharanya sistim cek dan kontra - cek untuk mencegah para petugas menyalah-gunakan kekuasaan mereka".
Kebersihan dari korupsi ini nampaknya dihubungkannya dengan kebersihan lingkungan Singapura. Dan Lee Kuan Yew yang sangat memperhatikan soal polusi dan rambut gondrong ini, di tengah wawancara kami, berdiri dari kursi dan membungkuk ke lantai tiba-tiba: ia memungut satu penjepit kertas yang jatuh di atas permadani, seraya terus bicara.
Hari itu kami membaca di Straits Times: kepala perencanaan kota Singapura dipecat, bintang jasa yang pernah diberikan padanya dicabut. Dalam berita itu tak ada alasan disebutkan. Tapi itulah salah satu contoh yang dimaksudkan Lee, bagaimana seorang pejabat yang memberi keputusan terbukti mengambil keuntungan daripadanya, sementara mencelakakan orang-orang lain di wilayah yang sempit itu. Dalam konteks Singapura, tindakan seperti ini memang segera dapat dilihat walaupun suratkabar tak bisa mengungkapkan apa-apa.
Bagi Singapura, masalah "survival" adalah masalah pokok yang dihayati. Kota yang di banyak tempat diisi flat bersusun-anggun ini dengan segera memperlihatkan bahwa di sini hidup harus bersama berapat-rapatan. Kamar-kamar untuk sebagian rakyat ini (tak semua pekerja bisa membelinya) memang nampak kurang manis dan mungkin kita agak ngeri buat tinggal seperti itu. Tapi pasti keadaannya lebih baik dari perkampungan yang kotor-kumuh yang kini tak terlihat lagi di Singapura.
TEMPO