TEMPO.CO, Sendai- Kota Sendai di Prefektur Miyagi, Jepang, akan menjadi tuan rumah konferensi dunia ketiga Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pengurangan risiko bencana, pada 14-18 Maret 2015. Momentum tersebut akan dimanfaatkan pemerintah setempat untuk menunjukkan kemajuan upaya rekonstruksi dan kebangkitan Jepang, terutama Kota Sendai, setelah empat tahun lalu diterjang gempa hebat disusul dengan bencana tsunami.
"Kami sangat siap membuka pintu untuk dunia," kata Hidetaka Yanatsu, Director of the Local Preparation Office of the Third UN World Conference on Disaster Risk Reduction di kantor Japan International Cooperation Agency untuk Kawasan Tohoku di Sendai, pekan ini. Konferensi ini dihelat untuk meningkatkan kepedulian dunia terhadap upaya pengurangan risiko bencana dan membangun kepercayaan dan solidaritas seluruh bangsa serta komunitas di dunia akan pentingnya sosialisasi pengetahuan ihwal pengurangan risiko bencana.
Ribuan delegasi dari seluruh negara di dunia akan menghadiri konferensi ini. Selain delegasi dari pemerintah--termasuk pemerintah lokal--perwakilan lembaga legislatif, pegiat lingkungan, dan ahli bencana dari negara lain juga diundang, termasuk dari Indonesia. Dalam konferensi ini, pemerintah Jepang selaku tuan rumah akan mengajak para delegasi untuk mengunjungi sejumlah lokasi di Sendai serta beberapa lokasi di Prefektur Iwate dan Prefektur Fukusima yang diguncang gempa disusul tsunami tiga tahun lalu.
Pada 11 Maret 2011, gempa berkekuatan 9 skala Richter mengguncang Jepang dengan pusat gempa 120 kilometer dari pantai timur laut Jepang dengan kedalaman 24 kilometer. Tak lama berselang, tsunami meluluhlantakkan kawasan permukiman di sekitar pantai sepanjang 700 kilometer di 15 prefektur di Jepang. Ketinggian gelombang tsunami saat itu ada yang mencapai 40 meter. Akibat gempa dan tsunami ini, sedikitnya 15.800 orang meninggal, 2.600 hilang, dan 6.000 terluka. Adapun jumlah bangunan, terutama rumah warga, yang hancur total dan mengalami kerusakan parah, mencapai 1,14 juta. Sedikitnya 274 ribu orang dievakuasi. Pemerintah Jepang menaksir kerugian akibat bencana itu mencapai 16,9 triliun yen.
Prefektur yang terkena dampak paling parah adalah Miyagi, Iwate, dan Fukushima. Sendai termasuk kota yang cukup parah diguncang bencana itu. Bandara di kota itu, misalnya, sebagian besar nyaris hancur dan tidak bisa dioperasikan selama satu bulan. Perekonomian di kota itu selama sebulan lumpuh. Tapi pemerintah dan masyarakat setempat bahu-membahu membangun kembali kota mereka. Setahun berselang, PBB menjadikan kota itu sebagai model kota metropolitan dalam membangun kembali kawasannya setelah diguncang gempa dan tsunami hebat. PBB juga menilai Sendai sebagai kota yang memiliki komitmen kuat dalam menjalankan program-program rekonstruksi dan rehabilitasi pascatsunami berbasis masyarakat.
Yanatsu mengatakan Wali Kota Sendai Emiko Okuyama telah berkomitmen untuk berbagi pengalaman kepada dunia, khususnya negara-negara yang rawan bencana, termasuk Indonesia, ihwal rekonstruksi dan rehabilitasi. Saat konferensi digelar, kata Yanatsu, para delegasi akan diajak mengikuti tur untuk melihat langsung lokasi-lokasi terkena dampak gempa dan tsunami yang tengah melakukan pembangunan kembali.
"Setiap negara dapat mencegah dan mengurangi risiko bencana dengan memanfaatkan teknologi canggih. Tapi untuk negara-negara tanpa uang, mereka masih bisa mengurangi kerusakan," kata Yanatsu, "Dan Sendai telah membuat banyak upaya berbasis masyarakat untuk mencegah dan mengurangi risiko bencana."
Salah satu kawasan yang diguncang gempa dan tsunami 2011 adalah Natori di Prefektur Miyagi. Ketika Tempo berkunjung ke lokasi itu, kawasan seluas 100 kilometer ini hanya menyisakan puing-puing fondasi rumah. Di lokasi ini juga dibangun monumen tsunami yang mencantumkan nama-nama korban di lokasi ini. Pemerintah setempat mencatat, sebelum bencana itu terjadi, ada 5.700 penduduk yang tinggal di area ini. Sebanyak 800 orang di antaranya hilang karena gempa tsunami 2011.
Di antara puing-puing bangunan dan bekas fondasi rumah, ada satu bangunan yang masih berdiri kokoh, yakni sekolah dasar empat lantai. Karena dianggap daerah berbahaya, kawasan ini tidak boleh menjadi lokasi permukiman. Pemerintah setempat memindahkan warga ke lokasi yang lebih tinggi di perumahan sementara, sembari menunggu perumahan permanen kelar. Area ini akan dijadikan lahan untuk pertanian. Di sepanjang bibir pantai tak jauh dari area ini tengah dibangun tembok setinggi sekitar 7-8 meter untuk menghalau gelombang tsunami yang bisa datang setiap saat.
ANTON APRIANTO (Sendai)