TEMPO.CO , Raqqa: Para militan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menjarah barang-barang antik di Suriah dan menjualnya. Hasil penjualan benda-benda kuno itu menjadi salah satu sumber utama pendapatan ISIS, selain penjualan minyak dan uang tebusan sandera.
Setiap barang jarahan itu, yang banyak berumur 10.000 tahun, minimal seharga US$1 juta atau sekitar Rp 12,8 miliar.
Setiap milisi yang menjual barang-barang antik jarahan itu wajib membayar 20 persen dari hasil penjualannya sebagai pajak kepada ISIS.
Barang-barang antik itu dijarah ISIS, ketika mereka menghancurkan situs-situs bersejarah di kota tua di Suriah. Alasan penghancuran itu, karena benda-benda tersebut dianggap berhala.
Lantas siapa pembeli atau penadah barang-barang antik jarahan ISIS itu? Menurut penelusuran BBC, pembelinya adalah para kolektor benda seni di Eropa dan Teluk. Para kolektor mengoleksi benda-benda antik itu untuk museum-museum rahasia mereka.
Milisi ISIS menggunakan taksi untuk menyelundupkan barang-barang antik itu dari Suriah ke Libanon dan Turki. Sesampainya di sana, sudah ada pria yang menawarkan barang-barang kuno itu ke "dealer". Transaksi awalnya pun cukup canggih, yakni menggunakan Skype.
Salah seorang penyelundup barang antik yang mengakuy bernama Mohammed membenarkan bahwa ISIS menghasilan uang dengan menjual barang-barang kuno, seperti anting-anting, cincin, patung-patung kecil dan kepala yang terbuat dari batu.
Benda-benda itu, kata pria 21 tahun itu, dijarah dari banyak museum di Suriah. Sebagian besar berasal dari dalam Kota Aleppo. Para kolektor seni di Teluk yang menadah barang-barang jarahan itu, kata dia, adalah kolektor asal Qatar dan Dubai.
Ahmed, perantara bisnis barang jarahan, mengaku baru menjual satu benda kuno senilai US$ 1,1 juta atau Rp 14 miliar. "Itu adalah kepingan benda berumur 8.500 tahun sebelum Masehi," katanya kepada BBC, Selasa, 17 Februari 2015.
BBC | WINONA AMANDA