TEMPO.CO, Jakarta - Wabah ebola yang menyebar di negara Afrika Barat merupakan yang terparah sepanjang sejarah. Selain merenggut nyawa sekitar 1.400 warga, wabah ini juga telah menewaskan lebih dari 120 pekerja medis yang seharusnya menjadi penolong para pasien. (Baca: WHO Tutup Laboratorium Ebola di Siera Leone)
"Dalam beberapa kasus, staf medis lebih berisiko tertular karena masih kurangnya peralatan pelindung seperti sarung tangan dan masker wajah," kata pihak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seperti dilaporkan USA Today, Selasa, 26 Agustsu 2014.
WHO mengibaratkan bahwa pekerja medis memiliki "insting" untuk segera memberikan pertolongan kepada warga yang terinfeksi, tapi tak memperhatikan keselamatan dirinya sendiri. Pekerja medis juga mulai kelelahan sehingga menyebabkan mereka menjadi semakin rentan tertular.
"Ini adalah pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Mereka telah bekerja selama berminggu-minggu untuk merawat pasien. Mereka tidak menghiraukan kemungkinan terburuk jika berdekatan dengan pasien," kata WHO. (Baca: Pengakuan Dokter AS yang Terjangkit Ebola)
Beberapa waktu lalu, dua dokter Amerika bernama Nancy Writebol dan Kent Brantly terinfeksi ebola saat bertugas di Liberia. Seorang dokter asal Inggris, William Pooley, juga tertular ebola saat bekerja di Sierra Leone. Beruntung, nyawa mereka berhasil selamat setelah menerima obat ZMapp.
Sayangnya, Abraham Borbor meninggal karena terinfeksi ebola saat bertugas di Liberia. Salah satu dokter terbaik di yang bertugas di Sierra Leone, Sahr Rogers, juga harus kehilangan nyawa saat akan dievakuasi dan dirawat di Jerman setelah positif terjangkit ebola. (Baca: Dokter di Sierra Leone Meninggal Terinfeksi Ebola)
RINDU P. HESTYA | USA TODAY
Berita Lain:
Lawan Rokok, Bloomberg Sumbang Rp 385 Triliun
Surat Terakhir James Foley untuk Keluarganya
Seribu Lebih Anak di Inggris Diperkosa dan Dijual