TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Emmanuel Macron terbang ke Kaledonia Baru dalam upaya untuk meredakan ketegangan di wilayah seberang lautan Prancis tersebut setelah reformasi pemilu yang diperdebatkan memicu kerusuhan terburuk di sana dalam empat dekade terakhir.
Lebih dari seminggu setelah kerusuhan sipil pertama kali meletus, Kaledonia Baru masih dilanda oleh jalan-jalan yang dibarikade, gedung-gedung yang dibakar, dan bisnis-bisnis yang dijarah. Sebuah serangan siber yang berlangsung singkat berusaha untuk menggulingkan internetnya, sementara sejumlah turis telah diterbangkan keluar.
Enam orang tewas dalam kerusuhan tersebut, dan hampir 300 orang ditangkap setelah Paris mengirimkan 1.000 polisi.
Protes ini merupakan titik api terbaru dalam pertikaian selama beberapa dekade mengenai peran Prancis di pulau ini.
Di manakah Kaledonia Baru?
Terletak di perairan hangat Pasifik barat daya, sekitar 1.500 km (930 mil) di sebelah timur Australia, Kaledonia Baru merupakan rumah bagi 270.000 orang, termasuk 41% orang Melanesia Kanaka dan 24% orang Eropa, sebagian besar orang Prancis. Menurut situs Kementerian Luar Negeri, ada sekitar 4000 orang Jawa yang tinggal di sana. Sebagian masih berbahasa Jawa.
Kepulauan ini diberi nama oleh penjelajah Inggris Kapten James Cook pada 1774. Negara ini dianeksasi oleh Prancis pada 1853 dan digunakan sebagai koloni penjara hingga sesaat sebelum pergantian abad ke-20.
Mengapa wilayah ini penting?
Kaledonia Baru, salah satu dari lima wilayah kepulauan yang membentang di Indo-Pasifik yang dipegang oleh Prancis, merupakan pusat dari rencana Macron untuk mempertahankan pijakan Prancis yang kuat di Pasifik.
Kaledonia Baru, produsen nikel terbesar ketiga di dunia, terletak di jantung wilayah maritim yang kompleks secara geopolitik, di mana Cina dan Amerika Serikat saling berebut kekuasaan dan pengaruh dalam hal keamanan dan perdagangan.
Bagaimana Sejarahnya dengan Prancis?
Setelah penjajahan Prancis pada abad ke-19, Kaledonia Baru secara resmi menjadi wilayah seberang lautan Prancis pada 1946. Ketegangan meningkat pada 1970-an setelah booming nikel yang menarik orang luar, yang mengarah ke berbagai konflik antara Paris dan gerakan kemerdekaan Kanaka.
Perjanjian Nouméa tahun 1998 membantu meredakan hubungan dengan menguraikan jalan menuju otonomi bertahap dan membatasi hak pilih bagi penduduk asli Kanaka dan migran yang tinggal di Kaledonia Baru sebelum tahun 1998. Perjanjian ini memungkinkan tiga kali referendum untuk menentukan masa depan negara tersebut. Dalam ketiga referendum tersebut, kemerdekaan ditolak.
Meskipun demikian, jajak pendapat 2021 diboikot oleh partai-partai pro-kemerdekaan, sehingga menodai legitimasi hasilnya.