TEMPO.CO, Jakarta - Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh mengatakan pada Rabu, 3 April 2024, bahwa gerakan Islam Palestina yang berperang dengan Israel berpegang teguh pada persyaratan gencatan senjata di Jalur Gaza, termasuk penarikan militer Israel.
Para pejabat Israel mengunjungi Mesir awal pekan ini dalam upaya baru untuk mencapai kesepakatan, namun seorang pejabat Palestina yang dekat dengan upaya mediasi mengatakan belum ada tanda-tanda terobosan.
"Kami berkomitmen terhadap tuntutan kami: gencatan senjata permanen, penarikan musuh secara menyeluruh dan menyeluruh dari Jalur Gaza, kembalinya semua pengungsi ke rumah mereka, mengizinkan semua bantuan yang dibutuhkan untuk rakyat kami di Gaza, membangun kembali Jalur Gaza, mencabut blokade, dan mencapai kesepakatan pertukaran tawanan yang terhormat," ujar Haniyeh dalam sebuah pidato yang disiarkan di televisi yang menandai Hari Al-Quds (Yerusalem).
Pertukaran yang dimaksudnya adalah pembebasan tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel sebagai imbalan atas sandera Israel yang ditahan oleh para militan di Gaza sejak serangan mematikan yang dipimpin Hamas pada tanggal 7 Oktober lalu terhadap Israel.
Israel mengatakan bahwa mereka hanya tertarik pada gencatan senjata sementara untuk membebaskan para sandera. Hamas mengatakan bahwa mereka hanya akan membebaskan para sandera sebagai bagian dari kesepakatan untuk mengakhiri perang secara permanen.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah mengatakan bahwa pasukan Israel berencana untuk merangsek masuk ke Rafah di ujung selatan Gaza, tempat 1,5 juta orang berlindung.
Di Doha, Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani mengatakan pada hari Rabu bahwa perundingan gencatan senjata Gaza menemui jalan buntu, terutama terkait kembalinya para pengungsi ke beberapa bagian wilayah Palestina.
Sebuah sumber yang mengetahui tentang perundingan tersebut mengatakan bahwa pemimpin Qatar tersebut mengacu pada tuntutan Hamas agar warga Palestina yang mengungsi dapat kembali ke rumah mereka di Gaza utara yang diperintahkan oleh Israel untuk mengungsi pada awal perang yang telah berlangsung hampir enam bulan tersebut.
"Hamas ingin agar masyarakat dapat kembali ke wilayah utara. Hal ini sangat penting bagi Hamas dan Israel menyulitkan mereka dalam hal ini. Israel tidak ingin mereka (warga Palestina yang mengungsi) memiliki kebebasan bergerak," kata sumber tersebut, yang tidak mau disebutkan namanya karena sensitivitas masalah ini.
Hal lain yang menjadi perdebatan, kata sumber tersebut, adalah apakah tahanan Palestina yang dijatuhi hukuman seumur hidup akan menjadi bagian dari pembebasan tersebut. Hamas menginginkan ratusan tahanan yang sudah lama ditahan dibebaskan.
Berbicara di Khan Younis, di Jalur Gaza selatan, di mana Israel melakukan salah satu pengeboman terberat dalam beberapa minggu terakhir, Kepala Staf Militer Israel Letnan Jenderal Herzi Halevi mengatakan bahwa pasukannya akan "menekan lebih keras, sebanyak yang diperlukan" di Gaza dalam rangka untuk mempengaruhi perundingan pembebasan sandera.
"Kami menekan untuk mencoba memulai pergerakan dalam negosiasi, untuk menghasilkan kesepakatan pembebasan para sandera. Ini adalah prioritas utama," tambah Halevi.
Dari 253 orang yang ditangkap oleh Hamas selama amukan 7 Oktober yang memicu perang Gaza, 134 orang masih berada dalam tahanan dan tidak dapat berkomunikasi di daerah kantung Palestina tersebut.
REUTERS
Pilihan Editor: Fatah Menuduh Iran Berusaha Sebar Kekacauan di Tepi Barat