TEMPO.CO, Jakarta - Duta Besar Jepang untuk Indonesia Masaki Yasushi mengungkap alasan pemerintah Jepang tidak menghadiri sidang pertama gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas pembuangan limbah nuklir Fukushima ke lautan terbesar di dunia.
Organisasi nonpemerintah Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dan Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN) menggugat pemerintah Jepang karena telah “menggelontorkan limbah nuklir Fukushima” ke Samudra Pasifik, menurut rilis dari kedua organisasi. Mereka berargumen bahwa tindakan tersebut dapat mencemari perairan Indonesia.
Sidang perdana gugatan tersebut ditunda hingga 17 April 2024 setelah perwakilan pemerintah Jepang mangkir pada 13 Maret 2024. Berdasarkan keterangan dari PBHI dan EKOMARIN di hari sidang pertama, “Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan melakukan pemanggilan kepada Pemerintah Jepang melalui Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.”
Ketika ditanya alasan absen dari persidangan, Dubes Masaki mengaku telah melihat laporan media tentang gugatan tersebut. “Tetapi sejauh ini, kami belum menerima komplain resmi apa pun,” katanya pada konferensi pers di Kedutaan Besar (Kedubes) Jepang di Jakarta Pusat, Senin, 25 Maret 2024.
Koordinator Nasional EKOMARIN Marthin Hadiwinata mengatakan bahwa memang mungkin pemanggilan dari pengadilan sebelumnya tidak sampai ke pihak Kedubes Jepang. “Kemarin hakim mengirimkan ulang ke Jepang via Kemenlu,” katanya lewat pesan singkat kepada Tempo, Senin.
Masaki mengatakan dia memahami bahwa negara-negara tetangga khawatir akan masalah ini. Cina, pada Agustus 2023 lalu, mengumumkan larangan menyeluruh terhadap semua produk akuatik dari Jepang karena khawatir akan risiko kontaminasi radioaktif.
Pemerintah Jepang menandatangani rencana pelepasan air radioaktif yang telah diolah dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima ke Samudra Pasifik pada 2021. Kemudian, mereka mendapat lampu hijau dari pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melaksanakannya pada 2023.
Pelepasan itu dilakukan sebagai langkah penghentian PLTN Fukushima Daiichi setelah hancur akibat tsunami pada 2011 silam.