TEMPO.CO, Jakarta - Warga Palestina di Gaza sudah berpuasa berbulan-bulan sebelum Ramadan tiba tahun ini. Mereka terbiasa akan hal itu, karena minimnya stok bantuan kemanusiaan yang mereka dapatkan selama pembantaian oleh Israel berlangsung.
Mirisnya warga Gaza diungkapkan Fikri Rofiul Haq, relawan Indonesia untuk Lembaga Medis dan Kemanusiaan (MER-C) yang telah menetap di sana sejak 2020. Dia sekarang tinggal bersama warga yang mengungsi di bangunan sekolah dekat Rumah Sakit Eropa Gaza di Khan Younis, Gaza selatan.
Fikri dan rekannya di MER-C, Reza Aldilla Kurniawan dan Farid Zanzabil Al Ayubi, terpaksa meninggalkan Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Beit Lahia, Gaza utara setelah pasukan Israel meningkatkan intensitas serangan di sana tahun lalu.
“Masyarakat banyak yang hari ini berpuasa tanpa sahur, karena minimnya stok bahan pangan yang mereka miliki,” kata Fikri lewat telepon kepada Tempo, Selasa, 12 Maret 2024.
Warga Palestina telah berpuasa terlebih dahulu sejak Senin. Berbeda dengan Indonesia, di mana pemerintah menetapkan 1 Ramadan 1445 Hijriah jatuh pada Selasa.
Fikri mengatakan Ramadan di Gaza tahun ini serba terbatas dan serba sulit. Banyak organisasi kemanusiaan termasuk MER-C masih menyalurkan bantuan, namun stok kebutuhan dasar semakin hari semakin menipis, sehingga menyulitkan jalannya kegiatan kemanusiaan.
Karena minimnya stok bantuan kemanusiaan termasuk pangan, warga telah terbiasa berpuasa bahkan sebelum Ramadan.
“Yang lebih mirisnya, ketika sebelum Ramadan saja, mereka hanya bisa makan sehari sekali atau bahkan dua hari sekali aja,” katanya.
Menurut cerita yang ia dengar dari warga, mereka biasanya hanya mengonsumsi kentang rebus untuk sahur, dan membatalkan puasanya nanti dengan kentang rebus pula. Selain itu, mereka terkadang memakan makanan kaleng seperti kornet. Warga juga masih bisa memakan roti, karena harga tepung masih terbilang normal di wilayah selatan.
Meski terbatas, Fikri mengatakan mereka tetap bersyukur masih bisa mendapatkan makanan. Mereka pun menghemat persediaan ketika sahur dan berbuka puasa.
Jika orang Indonesia terbiasa berbuka puasa dengan minuman manis seperti teh, warga Palestina di Gaza tidak demikian. Sebab, gula telah menjadi bahan yang sangat langka di tengah serangan dan blokade ketat Israel. Fikri mengibaratkan jika sebelum perang satu kilogram gula diberi harga Rp 20 ribu, sekarang bisa mencapai Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu, dan warga tidak mampu membelinya.
“Mereka sudah tidak memiliki pekerjaan, hanya bertumpu pada bantuan-bantuan internasional. Sedangkan bantuan internasional pun sangat sulit,” katanya.
Sementara, puluhan kilometer dari tempat Fikri menetap bersama warga di wilayah selatan, situasi di Gaza utara lebih buruk lagi.
Badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti WHO dan UNICEF menyoroti tingkat kekurangan gizi anak yang ekstrem di Gaza utara. Puluhan anak dilaporkan telah meninggal di utara karena malnutrisi dan dehidrasi.