Prabowo Menang Berkat Jokowi
Al Jazeera menilai Prabowo mendapatkan keuntungan dari hubungannya dengan Jokowi yang masih sangat populer dengan tingkat persetujuan sekitar 80 persen. Mengingat, jenderal tersebut dua kali kalah dari Jokowi, namun ia memilih berdamai dengan Jokowi dan bergabung dengan kabinetnya sebagai menteri pertahanan.
Terbukti, pada Pemilu 2024 kali ini, ia mendampingi putra tertua Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang berusia 36 tahun. Al Jazeera pun menyoroti dukungan Jokowi kepada paslon nomor urut 2 itu.
“Dan meskipun presiden yang akan keluar dari jabatannya tidak secara resmi mendukung pasangan tersebut, mereka terlihat mendapat dukungan tersirat darinya,” muatnya.
Al Jazeera juga mewawancarai beberapa orang yang mendukung Prabowo serta alasannya. Salah satunya Sahata Manalu, seorang pengacara di Medan. Manalu mengatakan bahwa koneksi dengan Jokowilah yang memenangkan suara Prabowo.
“Saya fanatik terhadap Jokowi, jadi saya harus mendukung arah politik Jokowi. Saya ingin memilih Prabowo karena dia orang baik dan patriot, tapi alasan utamanya adalah karena Jokowi,” kata Manalu, seraya menambahkan bahwa pelanggaran HAM seharusnya ditujukan kepada Soeharto “karena dialah yang menyuruh”.
Kemudian mereka juga mewawancarai Meli Nadeak, seorang pembantu rumah tangga di Medan yang juga memilih Prabowo. Baginya, jenderal kontroversial itu adalah “Si Gemoy” yang artinya “imut” dalam bahasa Indonesia.
Ada juga Nadeak, 25 tahun, mengatakan bahwa dia telah menonton semua video kampanye Prabowo di TikTok dan bahkan membuat beberapa video sendiri untuk mendorong pemilih pergi ke tempat pemungutan suara dan mendukungnya.
Dia mengatakan dia menganggap kebijakannya juga menarik. Hal ini termasuk janji untuk menciptakan 19 juta lapangan kerja dalam lima tahun ke depan dan memberikan makan siang dan susu gratis di sekolah kepada anak-anak dan ibu di seluruh Indonesia.
“Mudah-mudahan tidak ada pelanggaran HAM,” ujarnya.
Sementara itu, Al Jazeera menuliskan bahwa para analis mengatakan meskipun kepresidenan Prabowo tidak akan membawa Indonesia kembali ke sistem otokrasi penuh, hal ini dapat semakin mengikis demokrasi yang diperjuangkan oleh banyak orang – termasuk Muhammad dan rekan-rekan aktivisnya – pada 1998.
“Prabowo memiliki obsesi terhadap kursi kepresidenan sejak ia berada di militer dan telah mengubah strategi beberapa kali,” Ian Wilson, dosen studi politik dan keamanan di Universitas Murdoch Perth, mengatakan kepada Al Jazeera.
“Dia mungkin bukan diktator fasis dalam arti sebenarnya, tapi dia memusuhi proses demokrasi dan melihat demokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Sebagai presiden, dia kemungkinan akan melakukan apa yang telah dilakukan Jokowi dan mengupayakan bagaimana demokrasi bisa lebih prosedural dan memperkecil ruang untuk berdiskusi.”
Prabowo “tidak pernah demokratis, dan dia tidak pernah dimintai pertanggungjawaban”, tambah Wilson.
Pilihan Editor:
RIZKI DEWI AYU | AL JAZEERA