TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Jokowi dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr bertemu di Manila untuk membahas perkembangan di Laut Cina Selatan dan upaya untuk membangun hubungan yang lebih erat antar-negara Asia Tenggara, Rabu, 10 Januari 2024.
Pertemuan tersebut terjadi setelah Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan pada hari Selasa bahwa negaranya siap bekerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk menyelesaikan kode etik Laut Cina Selatan yang telah lama tertunda.
Cina mengklaim hampir seluruh jalur perairan tersebut, yang merupakan saluran perdagangan maritim bernilai lebih dari $3 triliun per tahun, namun klaimnya tumpang tindih dengan Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam, yang semuanya merupakan anggota ASEAN.
“Presiden Widodo dan saya melakukan diskusi yang bermanfaat dan jujur mengenai peristiwa-peristiwa regional yang menjadi kepentingan bersama,” kata Presiden Marcos Jr, yang menjadi tuan rumah bagi timpalannya dari Indonesia Joko Widodo, pada konferensi pers bersama setelah pertemuan tersebut.
Hal ini termasuk masalah Laut Cina Selatan, serta cara membangun kerja sama di antara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), katanya tanpa memberikan rincian.
Kedua negara bertetangga ini juga menandatangani perjanjian mengenai hubungan energi untuk membantu kerja sama antara sektor bisnis mereka selama masa-masa sulitnya pasokan bahan bakar seperti batu bara dan gas alam cair.
Selain itu, mereka sepakat untuk memperkuat hubungan pertahanan dan perjanjian kerja sama perbatasan yang sudah ada, kata Jokowi dalam konferensi tersebut.
“Kami sepakat untuk mempercepat revisi perjanjian patroli perbatasan dan penyeberangan bersama, (dan) juga memperkuat kerja sama pertahanan, termasuk pada perangkat keras militer,” katanya.
Perjanjian tahun 2014 antara negara-negara kepulauan menetapkan batas maritim mereka di zona ekonomi eksklusif yang tumpang tindih di Laut Mindanao dan Laut Sulawesi, sementara perjanjian patroli perbatasan tahun 1975 bertujuan untuk memerangi kejahatan di laut mulai dari pembajakan hingga penyelundupan.
Selama bertahun-tahun, ASEAN dan Cina mencoba membuat kerangka kerja untuk menegosiasikan kode etik, sebuah rencana yang dimulai pada 2002. Namun kemajuannya berjalan lambat meskipun ada komitmen dari semua pihak untuk memajukan dan mempercepat proses tersebut.
Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag menyatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum. Cina telah menolak keputusan itu.
Ketegangan meningkat dalam beberapa bulan terakhir antara Cina dan Filipina karena mereka saling tuding mengenai beberapa perselisihan di jalur air tersebut.
REUTERS
Pilihan Editor 4 Fakta ICJ yang Adili Gugatan Afrika Selatan Terhadap Israel yang Melakukan Genosida di Gaza