TEMPO.CO, Jakarta - Selatan-Selatan menjadi salah satu topik pertanyaan yang diberikan panelis kepada tiga calon presiden (capres) dalam Debat Ketiga yang diadakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di Istora Senayan, Jakarta, pada Minggu, 7 Januari 2024. Dalam debat capres, panelis menanyakan strategi pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres) dalam menyusun peta jalan agar memperkuat kerja sama dengan negara-negara Selatan.
Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo mengatakan Selatan-Selatan mempunyai potensi yang hebat untuk hal kerja sama. Menurutnya, Indonesia dapat memanfaatkan itu untuk mengembangkan industri-industri, seperti produksi baterai mobil listrik.
“Ambil satu saja, teknologi baterai. Kita miliki nikel, bisa kita share (bagi) dengan negara lain. Maka, kalau ini kita konsentrasikan penuh, betapa kekuatan ekonomi akan besar,” kata Ganjar.
Sementara itu, capres nomor urut 2 Prabowo Subianto menyatakan bahwa dalam menjalin kerja sama, ekonomi dalam negeri harus diperkuat. Dia menyebut, kekayaan Indonesia harus dijaga, dikelola, dan memperhatikan hilirisasi, agar Indonesia dapat disegani oleh semua negara, terutama negara-negara Selatan.
“Kita menjadi panutan bagi negara-negara Afrika. Karena kita dianggap sebagai negara Selatan yang cukup berhasil,” ucap Prabowo.
Alih-alih menjawab pertanyaan panelis, dalam debat capres, Anies Baswedan membuka pernyataannya dengan ketidaksetujuan terhadap jawaban Prabowo. Menurutnya, Indonesia seharusnya menjalin hubungan diplomasi dengan negara Selatan-Selatan, bukan memberi tahu keberhasilan Indonesia.
“Merangkul semua, membawa apa yang menjadi agenda Selatan-Selatan, bukan menceritakan agenda kita, semua orang bisa membaca di Google tentang apa yang kita kerjakan. Kalau kita menjangkau pemimpin Selatan-Selatan dan presiden menjadi panglima diplomasi, bukan menjadi salah satu penonton,” ujar Anies.
Lantas, sebenarnya apa itu Selatan-Selatan?
Apa itu Selatan-Selatan?
Dilansir dari Jurnal Politica (2015) karya Adrini Pujayanti, Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS) adalah kerja sama pembangunan antarnegara berkembang untuk membangun kemandirian kolektif yang akan menguatkan posisi negara berkembang di forum internasional. KSS berawal dari Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 1955 silam.
Melalui KSS, negara-negara berkembang diharapkan dapat saling membantu dan mengurangi ketergantungan kepada negara maju dalam mengejar ketertinggalan. Dalam implementasinya, Indonesia sebagai anggota G20 ditempatkan sebagai emerging economy country. Adapun alokasi anggaran Indonesia bagi KSS berkisar US$ 10 juta pada 2010.
Bantuan Indonesia untuk negara berkembang pada umumnya diberikan dalam bentuk hibah dan pelatihan, di antaranya di bidang perikanan, pertanian, good government, dan usaha kecil menengah (UKM). Sebanyak lebih dari 700 program KSS dengan nilai di atas US$ 60 juta telah digelar Indonesia bersama mitra negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Pasifik Selatan.
Sejarah Kerja Sama Selatan-Selatan
Dilansir dari Jurnal Ilmu Komunikasi (2022) karya Zipora Mahalia, KAA 1955 menjadi titik awal pergerakan politik pembangunan bersama negara dunia ketiga (the third world) untuk menjalin kerja sama internasional. Saat itu, sejalan dengan berakhirnya Perang Dunia II, muncul negara-negara baru di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menimbulkan permasalahan kemiskinan dan pengangguran.
Usai Perang Dingin, terbentuklah sebuah kerangka Kerja Sama Utara-Selatan (North-South) yang merupakan wujud bantuan kerja sama dari negara-negara maju kepada negara berkembang. Namun, pola itu justru mengakibatkan ketergantungan kepada negara maju. Kerangka itu juga menyebabkan ketimpangan di mana negara-negara berkembang dianggap sebagai minoritas.
Selain itu, akibat dari bantuan-bantuan negara maju, kondisi ekonomi dunia kala itu mulai mengalami kejenuhan atau aid fatigue. Prioritas negara-negara maju pun tidak lagi perihal bantuan luar negeri, sehingga negara-negara berkembang terpaksa harus bertahan dan menghadapi kesulitan lebih besar.
Oleh karena itu, agar negara-negara berkembang dapat mengatasi permasalahan tersebut, melalui KAA, mereka menyepakati perlunya kerja sama ekonomi dan budaya melalui penyediaan bantuan teknis, pertukaran keahlian teknologi, dan pertukaran ahli untuk mendukung proyek pembangunan.
Kesepakatan tersebut melahirkan kerangka kerja sama baru, yaitu KSS yang dalam praktiknya juga melibatkan mitra dari negara maju atau disebut sebagai Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST).
MELYNDA DWI PUSPITA | DPR.GO.ID | JURNAL UMBUTON