TEMPO.CO, Jakarta - Korea Utara memulai diskusi mengenai pembubaran lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas hubungan antar-Korea, lapor media pemerintah pada Senin 1 Januari 2024. Hal ini terjadi setelah pemimpin Korut Kim Jong-un mengatakan bahwa tidak ada gunanya mengupayakan rekonsiliasi dan reunifikasi dengan Korea Selatan.
Menteri Luar Negeri Korea Utara Choe Son-hui memimpin diskusi dengan pejabat terkait, termasuk Ri Son-gwon, kepala Departemen Front Persatuan Utara (UFD) yang bertanggung jawab atas hubungan dengan Korea Selatan, menurut Kantor Pusat Berita Korea Utara (KCNA).
“Choe mengadakan pertemuan konsultatif dengan pejabat terkait pada 1 Januari untuk melaksanakan tugas secara menyeluruh...untuk membubarkan dan mereformasi lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas urusan yang berkaitan dengan Selatan dan perjuangan melawan musuh serta mengubah prinsip dasar dan orientasi perjuangan," kata KCNA.
Pada akhir pertemuan penting Partai Buruh pekan lalu, Kim menekankan perlunya untuk mengambil langkah untuk "menyesuaikan dan mereformasi" organisasi yang bertanggung jawab atas urusan antar-Korea, termasuk UFD, dan untuk "secara mendasar mengubah prinsip dan orientasi perjuangan."
Kim juga mendefinisikan hubungan antar-Korea sebagai "dua negara yang saling bermusuhan" dan menyerukan peningkatan persiapan untuk "menekan seluruh wilayah Korea Selatan". Ia mengatakan bahwa menganggap Korea Selatan sebagai mitra rekonsiliasi dan reunifikasi adalah sebuah kesalahan.
“Sudah waktunya bagi kita untuk mengakui kenyataan dan memperjelas hubungan kita dengan Korea Selatan,” kata Kim.
Ia menambahkan bahwa jika Washington dan Seoul mencoba melakukan konfrontasi militer dengan Pyongyang, “pencegah perang nuklir mereka tidak akan ragu untuk mengambil tindakan serius.”
“Saya yakin bahwa kita tidak boleh lagi berurusan dengan orang-orang yang menyatakan kita sebagai 'musuh utama' dan hanya mencari peluang untuk 'runtuhnya rezim [kita]' dan 'penyatuan melalui penyerapan' dengan berkolaborasi demi rekonsiliasi dan unifikasi,” tambah Kim.
Korea Utara dan Selatan telah terputus satu sama lain sejak berakhirnya Perang Korea pada 1953 yang berakhir dengan gencatan senjata. Kedua belah pihak secara teknis masih berperang, namun kedua pemerintahan telah lama berupaya mencapai tujuan untuk bersatu kembali suatu hari nanti.
Hubungan keduanya telah mengalami pasang surut selama beberapa dekade, namun ketegangan masih tetap tinggi dalam beberapa tahun terakhir setelah Kim Jong Un meningkatkan program senjata nuklir negaranya meskipun bertentangan dengan sanksi internasional.
Pekan lalu, KCNA melaporkan bahwa Kim telah menginstruksikan angkatan bersenjata, industri amunisi, senjata nuklir, dan sektor pertahanan sipil negara tersebut untuk mempercepat persiapan perang sebagai respons terhadap “langkah konfrontasi” yang dilakukan AS.
KCNA menggambarkan situasi politik dan militer di Semenanjung Korea sebagai “serius,” dan mengatakan bahwa situasi telah mencapai titik “ekstrem” karena Washington.
Komentar terbaru Kim mengenai reunifikasi sangat penting, menurut Hoo Chiew-Ping, peneliti senior di CAUCUS Hubungan Internasional Asia Timur (EAIR) dan anggota Panel Penasihat Nuklir Asia Pasifik (APNAP). Hoo mengatakan bahwa pemimpin Korea Utara itu telah meninggalkan “hubungan antar-Korea” dalam beberapa tahun terakhir.
“Ini akan menandai tonggak penting di Semenanjung Korea di mana perpanjangan perdamaian oleh pemerintahan Korea Selatan di masa depan akan ditolak keras oleh Korea Utara,” kata Hoo kepada CNN.
Pyongyang lebih tertarik untuk menjalin hubungan lebih jauh dengan sekutu-sekutunya saat ini seperti “Cina dan Rusia, serta jaringan negara-negara terpilih di seluruh dunia yang akan terus memungkinkan proliferasi dan penjangkauan keuangannya,” tambahnya.
Pilihan Editor: Kim Jong Un: Reunifikasi antara Pyongyang dengan Seoul Mustahil
YONHAP