TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Dewan Keamanan PBB) kemungkinan akan melakukan pemungutan suara paling cepat pada Senin 18 Desember 2023 petang waktu New York. Voting ini atas rancangan resolusi menuntut Israel dan Hamas agar membuka akses bantuan ke Jalur Gaza --melalui darat, laut, dan udara.
Resolusi itu juga akan mengatur pemantauan PBB atas bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Para diplomat mengatakan nasib rancangan resolusi Dewan Keamanan bergantung pada negosiasi akhir antara Amerika Serikat—sekutu Israel serta pemegang hak veto— dan pihak Uni Emirat Arab (UAE) sebagai perancang resolusi tersebut.
UEA, satu-satunya anggota Dewan yang berasal dari Arab, dan berkoordinasi dengan Mesir dan Palestina, menyiapkan rancangan resolusi yang menuntut semua pihak mematuhi kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional, terutama mengenai perlindungan warga sipil.
Teks tersebut menyerukan untuk melindungi warga sipil dan fasilitas sipil, memberikan bantuan, dan melindungi pekerja kemanusiaan, mengingat kewajiban untuk menghormati dan melindungi fasilitas sipil, termasuk rumah sakit, fasilitas medis, sekolah, tempat ibadah, dan fasilitas PBB.
Perjanjian ini menyerukan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk mengizinkan, memfasilitasi, dan memungkinkan pengiriman bantuan kemanusiaan secara langsung, aman, dan luas kepada penduduk sipil Palestina di seluruh Jalur Gaza, yang memerlukan penghentian permusuhan yang mendesak dan berkelanjutan untuk memungkinkan pengiriman bantuan.
“Kami telah terlibat secara konstruktif dan transparan di seluruh proses dalam upaya untuk bersatu meloloskan resolusi,” kata seorang pejabat Amerika Serikat, yang berbicara tanpa mau disebutkan namanya.
"UAE tahu persis apa yang bisa dan apa yang tidak bisa diloloskan. Terserah mereka apakah mereka ingin menyelesaikannya," lanjut pejabat AS tersebut.
Rancangan resolusi tersebut menyambut baik peran negara-negara yang bukan pihak dalam konflik dalam mengizinkan pengiriman bantuan kemanusiaan lewat secara bebas, terutama berkoordinasi dengan Mesir untuk menggunakan penyeberangan perbatasan Rafah.
Mereka meminta Sekjen PBB Antonio Guterres untuk membentuk mekanisme pemantauan di Jalur Gaza dengan personel dan peralatan yang diperlukan di bawah wewenangnya.
Mereka meminta pengerahan segera mekanisme pemantauan PBB selama satu tahun, yang secara otomatis akan diperpanjang untuk jangka waktu satu tahun.
Resolusi tersebut juga menuntut pembebasan segera dan tanpa syarat semua sandera dan menjamin akses kemanusiaan, serta menambahkan bahwa bahan bakar harus disediakan pada tingkat yang memenuhi kebutuhan kemanusiaan.
Para pejabat PBB dan badan-badan bantuan memperingatkan akan adanya bencana kemanusiaan di Gaza berupa kelaparan massal dan penyakit.
Mayoritas penduduk di wilayah pesisir Palestina, yang berjumlah 2,3 juta orang, terpaksa meninggalkan rumah mereka selama konflik yang berlangsung selama dua bulan tersebut.
Resolusi dewan memerlukan setidaknya sembilan suara setuju dan tidak ada veto dari AS, Prancis, Cina, Inggris, atau Rusia.
Awal Desember ini, Washington memveto resolusi DK PBB --yang beranggotakan 15 negara-- yang menuntut gencatan senjata kemanusiaan segera antara Israel dan kelompok Palestina Hamas di Gaza.
Namun, Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara kemudian berhasil mengeluarkan resolusi Majelis Umum pekan lalu yang menuntut pelaksanaan gencatan senjata. Resolusi itu didukung oleh 153 negara.
AS dan Israel menentang gencatan senjata karena mereka meyakini langkah itu hanya akan menguntungkan Hamas.
Washington lebih mendukung jeda dalam pertempuran untuk melindungi warga sipil dan mengizinkan pembebasan sandera yang disandera oleh Hamas dalam serangan mematikan terhadap Israel pada 7 Oktober.
Israel telah membombardir Gaza dari udara, mengepung, dan melancarkan serangan darat sebagai pembalasan atas serangan 7 Oktober, yang menurut Israel menewaskan kurang dari 1.200 orang dan menyebabkan 240 orang disandera.
Sementara itu menurut para pejabat kesehatan Palestina, sudah sekitar 19.000 warga Palestina yang terbunuh akibat serangan-serangan Israel itu.
Setelah beberapa upaya gagal untuk mengambil tindakan, DK PBB pada November menyerukan penghentian sementara pertempuran guna memungkinkan akses bantuan ke Gaza terbuka.
Selama jeda tujuh hari tersebut --yang berakhir pada 1 Desember, Hamas membebaskan beberapa sandera, beberapa warga Palestina dibebaskan dari penjara Israel, dan ada peningkatan arus bantuan ke Gaza.
Bantuan kemanusiaan dan pengiriman bahan bakar yang terbatas telah menyeberang ke Gaza melalui penyeberangan Rafah dari Mesir di bawah pantauan Israel.
Namun, para pejabat PBB dan para petugas mengatakan bantuan itu tidak dapat memenuhi kebutuhan paling dasar warga Gaza.
Rancangan resolusi tersebut bertujuan untuk mengatur pemantauan PBB di Gaza pada bantuan yang diberikan melalui darat, lau,t atau bantuan dari negara-negara yang bukan pihak dalam konflik tersebut.
PBB akan memberitahu Otoritas Palestina dan Israel mengenai pengiriman bantuan tersebut.
Pada Minggu, pos penyeberangan Kerem Shalom ke Gaza yang dikuasai Israel telah dibuka untuk truk bantuan untuk pertama kalinya sejak perang pecah, kata para pejabat, sebagai langkah untuk melipatgandakan jumlah makanan dan obat-obatan ke Gaza.
Pilihan Editor: Temui Langsung Korban Pembantaian di Gaza, Dubes Dewan Keamanan PBB: Mengerikan!
REUTERS